KARYA TULIS
STUDI ANALISA SEPULUH NASIHAT LUKMAN AL-HAKIM KEPADA ANAKNYA SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN ISLAM
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Mengikuti Ujian Akhir Pesantren Tingkat Mu’allimien
Pada Pesantren Persatuan Islam Cibegol
Kutawaringin – Soreang
Kabupaten Bandung
Disusun oleh:
Hanafi Anshory
NIS. 07081.1088
PESANTREN PERSATUAN ISLAM CIBEGOL
KUTAWARINGIN – SOREANG – KABUPATEN BANDUNG
2009
LEMBAR PERSETUJUAN
Menyetujui
Mudir Mu'allimien Koordinator Pembimbing
Ikin Shadikin Muhammad Shalih Drs.H.A.Dadang Musthafa, S.E, S.Pd, M.MPd
NIAT : 7539 NIAT : 178 20413
Mengetahui
Mudirul 'Am
Pesantren Persatuan Islam Cibegol
KH. Muhammad Romli
NIAT : 8301
RIWAYAT HIDUP
|
Penulis bernama lengkap Hanafi Anshory dengan nomor induk 07081.1088, dilahirkan di Bandung tanggal 05 Januari 1989, beragama Islam, dari perkawinan ayahanda Dadang Muharram dan ibunda Euis Wari Hidayah, putra pertama dari empat bersaudara dengan tiga orang adik laki-laki. Bertempat tinggal di Jalan PTPN VIII Kertamanah, Kampung Loscimaung RT 02 RW 18, Desa Margamukti, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.
Pendidikan, sekolah dasar di SD Taruna Pelita berijazah (2000), kemudian meneruskan pendidikan ke tingkat Tsanawiyyah pada Pondok Pesantren Firdaus Pangalengan berijazah (2003), kemudian meneruskan pendidikan ke tingkat Aliyyah pada Madrasah Aliyyah Yayasan Pendidikan Islam Ishlahul Amanah – Pangalengan yang hanya berjalan selama tiga bulan, kemudian melanjutkan pendidikan dengan mengulang kembali ke tingkat Tajhiziyyah pada Pesantren Persatuan Islam Cibegol berijazah (2004), selanjutnya meneruskan ke tingkat Tsanawiyyah berijazah (2007), kemudian ke tingkat Mu'allimien berijazah (2009) pada pesantren yang sama (Pesantren Persatuan Islam Cibegol).
Pengalaman berorganisasi tidak banyak, diantaranya pernah menjabat sebagai Staf Bidang Dakwah ISFI (Ikatan Santri Firdaus) Masa Jihad 1421-1422 H / 2000-2001 M pada Pondok Pesantren Firdaus Pangalengan, Wakil Ketua OSIS Madrasah Aliyyah Yayasan Pendidikan Islam Ishlahul Amanah (Masa Jihad 1423-1424 H / 2002-2003 M), Wakil Ketua DA'I (DA'WAH ISLAM) Madrasah Aliyyah Yayasan Pendidikan Islam Ishlahul Amanah, Staf Bidang Dakwah dan Tabligh RG IX (Masa Jihad 1426-1427 H / 2005-2006 M) pada Pesantren Persatuan Islam Cibegol, Staf Bidang Dakwah dan Tabligh RG X (Masa Jihad 1427-1428 H / 2006-2007 M) pada Pesantren Persatuan Islam Cibegol, dan terakhir pernah menjabat sebagai Ketua RG XI (Masa Jihad 1428-1429 H / 2008-2009 M) pada Pesantren Persatuan Islam Cibegol.
ABSTRAKSI
Setelah memperhatikan keadaan pendidikan Islam dewasa ini baik yang dijalankan oleh orang tua-orang tua muslim dalam mendidik putra-putrinya ataupun sebagian besar lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam mendidik anak-anak didiknya yang cenderung telah jauh dari pola yang diisyaratkan al-Qur'an dan al-Hadits, maka dengan hal tersebut penulis mencoba meneliti masalah ini dengan menyodorkan pembahasan tentang sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya yang penulis pandang layak untuk dijadikan sebagai dasar pendidikan Islam.
Tujuan penulis meneliti masalah ini adalah untuk mengingatkan umat Islam akan pentingnya pendidikan Islam dalam upaya membentuk manusia beradab. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah penerapan sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya menjadi dasar pendidikan Islam.
Sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya memiliki empat unsur pokok yang menjadi perhatian dakwah Islam, yaitu aqidah, ibadah, mu'amalah, dan pembinaan akhlaq kepribadian. Dalam hal aqidah, Lukman al-Hakim menekankan untuk tidak musyrik kepada Allah SWT dan selalu memegang prinsip ketauhidan. Dalam hal ibadah, shalat sebagai ibadah wajib yang paling utama ditekankan pula oleh Lukman al-Hakim kepada anaknya. Dalam hal mu'amalah, Lukman al-Hakim menasihati anaknya agar memiliki keberanian memerintah kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, dan agar tidak bersikap sombong kepada orang lain. Dan dalam hal pembinaan akhlaq kepribadian, Lukman al-Hakim menekankan agar bersabar terhadap musibah yang menimpa, tidak angkuh dalam menjalani hidup, menyederhanakan cara berjalan, serta agar anaknya melunakkan suara apabila berbicara. Memperhatikan hal tersebut maka seyogyanya sepuluh nasihat Lukman al-Hakim tersebut diperhatikan dan diterapkan dalam pendidikan Islam baik oleh para orang tua ataupun oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam.
KATA PENGANTAR
Maha Suci Allah SWT yang telah memberikan kekuatan kepada umat Islam pada umumnya dan kepada penulis khususnya hingga penulisan karya tulis ini dapat diselesaikan. Yang mana karya tulis ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti ujuan akhir tingkat Mu'allimien pada Pesantren Persatuan Islam Cibegol – Kutawaringin – Bandung.
Dalam pembuatan karya tulis ini penulis mengangkat permasalahan tentang sepuluh nasihat Lukaman al-Hakim kepada anaknya sebagai dasar pendidikan Islam dengan menjelaskan isi, relevansi, urgensi, fungsi, serta krisis penerapan sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya kaitan dengan dasar pendidikan Islam dengan mengambil judul "Studi Analisa Sepuluh Nasihat Lukman al-Hakim kepada Anaknya sebagai Dasar Pendidikan Islam". Penulis mengangkat permasalahan ini dengan harapan dapat mengingatkan umat Islam akan pentingnya pendidikan Islam melalui penerapan sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya sebagai dasar pendidikan Islam.
Semoga dengan penulisan karya tulis ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi kemajuan pendidikan Islam, dan menjadikan pelajaran bagi para orang tua muslim dalam mendidik putra-putri tercintanya juga bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam mendidik para anak didiknya. Serta semoga penulisan karya tulis ini dapat menjadi pelajaran serta pedoman berharga bagi penulis dan menjadi amal 'ibadah di hadapan Allah SWT. Aamiin.
Namun penulis juga sadari, tiada gading yang tak retak. Kritik dan saran untuk perbaikan terhadap kesalahan serta kekurangan yang terdapat pada karya tulis ini sangat penulis harapkan.
ii
Proses penulisan karya tulis ini yang memakan biaya tidak sedikit serta waktu yang cukup lama dengan berbagai cobaan dan rintangan tidak lepas dari bimbingan, bantuan dan dukungan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan karya tulis ini. Terutama penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. KH. Muhammad Romli selaku pimpinan Pesantren Persatuan Islam Cibegol.
2. Ust. Ikin Shodikin Muhammad Sholih selaku Mudir Mu'allimien.
3. Ust. DRS. H. Asep Dadang Musthafa, S.E, S.Pd, M.MPd selaku pembimbing karya tulis dan yang telah membantu rujukan karya tulis ini.
4. Ust. M. Idris Asy-Syafe'i, S.Ag selaku guru mata pelajaran Bahasa Indonesia.
5. Wildan ul Fatah beserta adik, Qonita Ummi Safitri yang telah membantu rujukan serta pengetikan awal karya tulis ini.
6. Muhammad Shiddiq Dwi Ananto beserta ayah dan ibu, Bapak Armin Yusuf dan ibu Iceu Setiati, S.Pd yang telah memfasilitasi sebagian besar pengetikan karya tulis ini.
7. Cep Mochamad Faqih FR, Lc yang telah memfasililitasi pengetikan akhir karya tulis ini.
8. Firdaus Sunarya, S.Pd.I (Om Daus) beserta Usth. Farah Najla, S.Pd.I (Teh Dede) yang telah membantu secara materil pada penulisan karya tulis ini.
9. Ayahanda Dadang Muharram dan ibunda Euis Wari Hidayah yang dengan do'a keduanya diantaranya, menjadi wasilah (perantara) hadirnya berjuta kejaiban dalam penulisan karya tulis ini.
10. Serta pihak-pihak lain yang telah banyak membantu sehingga karya tulis ini dapat dituntaskan, penulis ucapkan Jazaakumullaahu khairan katsiiraa, semoga segala kebaikan yang seluruh pihak yang membantu penulisan karya tulis ini lakukan dibalas oleh Allah SWT dengan kebaikan yang lebih besar. Amin.
Cibegol, 11 Juli 2009
Penulis.
DAFTAR PUSTAKA
1. H. Mahmud dan Priatna, Tedi. (2005). Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung : Sahifa.
2. Suryana, Yaya dan Priatna, Tedi. (2007). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Azkia Pustaka Utama.
3. Arifin, Muzayyin. (2008). Ilmu Pendidikan Islam (Tinjauan Teoritis dan Praktis berdasakan Pendekatan Interdisippliner). Jakarta : Bumi Aksara.
4. _______. (2000). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
5. _______. (2008). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
6. Rahman, Jamaal ‘Abdur. (2005). Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah SAW. Bandung : Irsyad Baitus Salam.
7. Tirtarahardja, Umar dan Sula, La. (2000). Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
8. Supratman, Ahmad. (tt). Ikhtisar Imu Keguruan untuk Tingkat Mu’allilien Pesantren Persatuan Islam (untuk kalangan sendiri). Garut.
9. Rosidin, Dedeng. (2003). Akar-Akar Pendidikan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits (Kajian Semantik Istilah-Istilah Tarbiyat, Ta’lim, Tadris, Tahdzib, dan Ta’dib). Bandung : Pustaka Umat.
10. Ibnu Katsir, Abu’l-Fida al-Hafidz Ismail. (1990). Tafsir Al-Qur’anu’l-Adzim. Qahirah : Daru’l-Hadits.
11. Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. (1974). Tafsir Al-Maraghi. Beirut : Daru’l-Fikr.
12. Al-Fairuzabadi, Abi Thahir ibn Ya’kub. Tanwiru’l-Miqbas Min Tafsiri Ibnu Abbas. Beirut : Dar’l-Fikr.
13. RI, Departemen Agama. (2005). Al-Qur’an dan Terjemahnya Depag RI. Jakarta : PT Syaamil Cipta Media.
14. Pers, Risalah. (2009). Malajah Dakwah Risalah Bulan Juni 2009. Bandung.
vii
DAFTAR ISI
ISI HALAMAN
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
ABSTRAKSI ........................................................................................................ iv
DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
- Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
- Perumusan Masalah .................................................................................. 4
- Tujuan Penulisan ...................................................................................... 5
- Kerangka Pemikiran ................................................................................. 5
- Langkah-langkah Penelitian ..................................................................... 8
1. Metode Penelitian ......................................................................... 8
2. Sumber Data ................................................................................. 9
- Sistematika Penulisan .............................................................................. 10
BAB II STUDI ANALISA SEPULUH NASIHAT LUKMAN AL-HAKIM KEPADA ANAKNYA SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN ISLAM ................ 11
- Ruang Lingkup Dasar Pendidikan Islam ................................................ 11
1. Pengertian Pendidikan .................................................................. 11
2. Konsep Dasar Komponen-Komponen Pendidikan .................. 13
3. Pengertian Pendidikan Islam ........................................................ 19
4. Pemikiran Pendidikan Islam ........................................................ 21
5. Tujuan Pendidikan Islam .............................................................. 22
6. Proses dan Produk Pendidikan Islam .......................................... 24
7. Akar-Akar Pendidikan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits ......... 25
- Sepuluh Nasihat Lukman al-Hakim kepada Anaknya sebagai Dasar Pendidikan Islam ...................................................................................... 36
1. Riwayat Singkat Lukman al-Hakim ........................................... 36
v
2. Isi Sepuluh Nasihat Lukman al-Hakim kepada Anaknya ...... 40
3. Relevansi Sepuluh Nasihat Lukman al-Hakim kepada Anaknya sebagai Dasar Pendidikan Islam ................................................... 54
4. Urgensi Sepuluh Nasihat Lukman al-Hakim kepada Anaknya sebagai Dasar Pendidikan Islam ................................................... 56
5. Fungsi Sepuluh Nasihat Lukman al-Hakim kepada Anaknya sebagai dasar Pendidikan Islam di Tengah Pesatnya Pembangunan ............................................................................... 62
6. Krisis Penerapan Sepuluh Nasihat Lukman al-Hakim kepada Anaknya sebagai Dasar Pendidikan Islam serta Dampak yang Ditimbulkan .................................................................................. 63
- Relevansi Pendidikan Islam dalam Membentuk Manusia Beradab .. 68
1. Manusia dan Kebutuhannya akan Pendidikan .............................. 68
2. Relevansi Pendidikan Islam dalam Membentuk Manusia Beradab ......................................................................................... 75
3. Urgensi Pendidikan Islam dalam Membentuk Manusia Beradab ......................................................................................... 77
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 78
- Kesimpulan .............................................................................................. 78
- Saran-saran ............................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... vi
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. vii
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT sebagai Dzat yang Maha Mendidik telah mengutus para nabi dan rasul yang diberi tugas mendidik umat manusia agar menjadi hamba Allah yang hidup sesuai dengan fitrahnya, yakni beribadah kepada Allah SWT dan menjauhi Thagut (sesuatu yang menjadi bandingan bagi Allah SWT). Firman Allah SWT, (QS. an-Nahl [16]: 36)
Artinya : “Dan sungguh Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah dan jauhilah Thagut’. Kemudian diantara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (Al-Qur’an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 271).
Kemudian Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu nabi dan rasul yang Allah SWT utus untuk melaksanakan tugas tersebut telah Allah swt bekali dengan kitab al-Qur’an sebagai pedoman.
Firman Allah SWT, (QS.al-An’am [6]: 19)
Artinya :“Katakanlah (Muhammad), ‘Siapakah yang lebih kuat kesaksiannya?’ katakanlah ‘Allah, Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku agar dengan itu aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang sampai (al-Qur’an kepadanya). Dapatkah kamu benar-benar bersaksi bahwa ada tuhan-tuhan lain bersama Allah?’ katakanlah, ‘Aku tidak dapat bersaksi’ katakanlah, ‘Sesungguhnya hanya Dia Tuhan yang Maha Esa dan aku berlepas diri dari apa yang kamu sekutukan (dengan Allah)’.” (Al-Qur’an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 130).
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Nabi Muhammad SAW memiliki tiga unsur pokok :
1. Hukum (meliputi perintah dan larangan),
2. Ancaman serta kabar gembira, dan
3. Kisah-kisah.
Kisah-kisah sebagai salah satu unsur pokok al-Qur’an meliputi kisah para nabi dan rasul, umat-umat sebelumnya meliputi contoh yang baik dan contoh yang buruk, dan beberapa sosok manusia yang dijadikan teladan dan pelajaran juga meliputi teladan yang baik dan contoh yang buruk. Kisah-kisah tersebut Allah SWT wahyukan agar manusia dapat mengambil pelajaran darinya.
Firman Allah SWT, (QS.Hud [11]: 120)
Artinya : “Dan semua rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu, dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman.” (Al-Qur’an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 235).
Kisah tentang seorang sosok manusia shaleh bernama Lukman yang karena kebijaksanaannya ia diberi gelar al-Hakim dan namanya pun diabadikan sebagai nama surat ketiga puluh satu pada mushaf al-Qur’an dengan sepuluh nasihat yang ia berikan kepada anaknya adalah salah satu kisah teladan yang termaktub dalam al-Qur’an yakni pada surat Luqman ayat 13, 16, 17, 18 dan 19.
Kisah Lukman al-Hakim dalam menasihati anaknya adalah selaras dengan apa yang ditugaskan kepada para nabi dan rasul yaitu untuk mendidik umat manusia agar menjadi hamba Allah yang hidup sesuai fitrahnya sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya. Maka penulis berpandangan bahwa sepuluh nasihat Lukman kepada anaknya merupakan dasar pendidikan islam karena isi dari nasihat-nasihat tersebut sesai dengan prinsip-prinsip Islam yang ditekankan untuk menjadi dasar pendidikan islam.
Mengenai definisi pendidikan islam itu sendiri, H.Mahmud dan Tedi Priatna berpendapat bahwa pendidikan islam adalah proses bimbingan secara sadar seorang pendidik sehingga asapek jasmani, ruhani, akal, dan potensi anak didik tumbuh dan berkembang menuju terbentuknya pribadi, keluarga dan masyarakat yang islami (H.Mahmud dan Tedi Priatna : 2005 : 18-19).
Pendapat di atas diperkuat dengan H.Mahmud dan Tedi Priatna mengutip pendapat Ahmad Supardi bahwa pendidikan islam adalah pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau tuntunan agama Islam dalam usaha membina dan membentuk pribadi muslim yang bertakwa kepada Allah SWT, cinta kasih pada orang tua dan sesama hidupnya, juga kepada tanah airnya, sebagai karunia yang diberikan oleh Allah SWT (H.Mahmud dan Tedi Priatna : 2005 : 18).
Definisi pendidikan islam di atas penulis pandang sesuai dengan tugas para nabi dan rasul dalam mendidik umat manusia yang selanjutnya pendidikan para nabi dan rasul tersebut kemudian dicetuskan Lukman al-Hakim dalam bentuk nasihat kepada anaknya. Hal inilah yang mendasari penulis menyusun karya tulis ini.
Berdasarkan al-Qur’an surat Luqman ayat 13, 16, 17, 18 dan 19 juga berdasarkan latar belakang yang telah penulis jelaskan sebelumnya maka penulis mengambil judul, “STUDI ANALISA SEPULUH NASIHAT LUKMAN AL-HAKIM KEPADA ANAKNYA SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN ISLAM”. Dengan harapan dapat memecahkan permasalahan tersebut.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan judul yang penulis ajukan di atas maka beberapa permasalahan yang penulis hendak pecahkan diantaranya :
1. Bagaimana ruang lingkup dasar pendidikan islam ?
2. Apa isi, fungsi, dan urgensi sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya sebagai dasar pendidikan islam ?
3. Bagaimana urgensi serta relevansi pendidikan islam dalam membentuk manusia yang beradab?.
C. Tujuan Penulisan
Rumusan masalah yang penulis sebutkan di atas mengambarkan tujuan penulisan karya tulis ini, diantaranya :
1. Untuk mengetahui ruang lingkup dasar pendidikan islam
2. Untuk mengetahui isi, fungsi, dan urgensi sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya sebagai dasar pendidikan islam
3. Untuk mengetahui urgensi serta relevansi pendidikan islam dalam membentuk manusia yang beradab.
D. Kerangka Pemikiran
Yang menjadi kerangka pemikiran penulis diantaranya :
1. Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 36
Artinya : “Dan sungguh Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah dan jauhilah Thagut’. Kemudian diantara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (Al-Qur’an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 271).
2. Al-Qur’an surat Luqman ayat 13
Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, ‘Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’” (Al-Qur’an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 412).
3. Al-Qur’an surat Luqman ayat 16
Artinya : “(Lukman berkata), ‘Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Maha Halus, Maha Teliti.’” (Al-Qur’an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 412).
4. Al-Qur’an surat Luqman ayat 17
Artinya : “Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (Al-Qur’an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 412).
5. Al-Qur’an surat Luqman ayat 18
Artinya : “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Al-Qur’an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 412).
6. Al-Qur’an surat Luqman ayat 19
Artinya : “Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Al-Qur’an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 412).
E. Langkah-Langkah Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penyusunan karya tulis ini adalah metode deskriptif.
Yaya Suryana dan Tedi Priatna : 2005 : 103 mengutip ungkapan Sumanto mengenai pengertian metode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang diupayakan untuk mencandra atau mengamati permasalahan secara sistematis dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat objek tertentu. Penelitian deskriptif ditujukan untuk memeparkan dan menggambarkan dan memetakan fakta-fakta berdasarkan cara pandang atau kerangka berpikir tertentu. Metode ini berusaha menggambarkan atau menginterpretasi apa yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau kecenderungan yang tengah berkembang (Sumanto, 1995 : 75).
Kemudian mengenai ciri pokok metode deskriptif Yaya Suryana dan Tedi Priatna : 2005 : 104 mengutip pendapat Winarno Surakhmad yang mengatakan ada dua hal yang dipandang sebagai ciri pokok metode deskriptif ini, yaitu :
1. Memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang, pada masa yang aktual;
2. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa (karena metode ini sering pula disebut metode analitik) (Winarno Surakhmad, 1998 : 140).
2. Sumber Data
Sumber data diambil dari literatur yang penulis kira berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dengan menggunakan tehnik kajian kepustakaan.
Dalam rangka penelitian kepustakaan perlu dibedakan tiga golongan buku atau bahan bacaan yang diperlukan bagi suatu karya. Pertama, buku-buku atau bahan bacaan yang memberikan gambaran umum mengenai persoalan yang akan digarap. Tidak perlu dibuat catatan-catatan dari buku-buku semacam ini.
Kedua, buku-buku yang harus dibaca secara mendalam dan cermat, karena bahan-bahan yang diperlukan untuk karya tulis itu terdapat di situ. Dari bahan-bahan semacam inilah pengarang harus membuat kutipan-kutipan yang diperlukan. Ketiga, bahan bacaan tambahan yang menyediakan informasi untuk mengisi yang masih kurang untuk melengkapi karya tulis itu (Gorys Keraf :1993 : 166).
F. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan karya tulis ini sistematika penulisan yang penulis gunakan sebagai berikut, Bab I Pendahuluan meliputi : Latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, kerangka pemikiran, langkah-langkah penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II penulis fokuskan pada pembahasan studi analisa sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya sebagai dasar pendidikan islam, meliputi : Ruang lingkup dasar pendidikan Islam yang membahas pengertian, dan konsep dasar komponen-komponen pendidikan; Pengertian, pemikiran, tujuan, proses, dan produk pendidikan Islam; dan Akar-akar pendidikan dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Setelah menjelaskan ruang lingkup dasar pendidikan Islam kemudian penulis masuk kepada pembahasan inti tentang sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya sebagai dasar pendidikan Islam dengan membahas : Riwayat singkat Lukman al-Hakim, isi sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya, relevansi serta urgensi sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya sebagai dasar pendidikan Islam, fungsi sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya sebagai dasar pendidikan Islam di tengah pesatnya pembangunan, dan krisis penerapan sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya sebagai dasar pendidikan Islam serta dampak yang ditimbulkan.
Pada akhir pembahasan Bab II penulis menjelaskan relevansi serat urgensi pendidikan Islam dalam membentuk manusia beradab yang meliputi pembahasan tentang : Manusia dan kebutuhannya akan pendidikan, dan relevansi serta urgensi pendidikan Islam dalam membentuk manusia beradab.
Bab III sebagai bab terakhir menerangkan tentang kesimpulan dari seluruh pembahasan dan saran-saran penulis terkait dengan pembahasan karya tulis ini.
BAB II
STUDI ANALISA SEPULUH NASIHAT LUKMAN AL-HAKIM KEPADA ANAKNYA SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN ISLAM
A. Ruang Lingkup Dasar Pendidikan Islam
- Pengertian Pendidikan
Pendidikan dari segi bahasa berasal dari kata dasar didik, dan diberi awalan men, menjadi mendidik, yaitu kata kerja yang artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran). Pendidikan sebagai kata benda berarti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.(W.J.S.Poerwadarminta : 1985 : 702).
Secara terminologis, para ahli pendidikan mendefinisikan kata pendidikan dari berbagai tinjauan. Ada yang melihat dari kepentingan atau fungsi yang diembannya,dari proses ataupun dilihat dari aspek yang terkandung dalam pendidikan. (H.Mahmud dan Tedi Priatna : 2005 : 14).
Pendidikan, seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak asfek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah batasan pun yang cukup mememdai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam, dan kandungannya berbeda yang satu dari yang lain. Perbedaaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang mendasarinya. (Umar Tirta Rahardja dan La Sula : 2000 : 33).
Umar Tirta Rahardja dan La Sula kemudian mengemukakan beberapa batasan pendidikan yang berbeda berdasarkan fungsinya,
a. Pendidikan sebagai proses transformasi budaya
b. Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi
c. Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara
d. Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja.
(Umar Tirta Rahardja dan La Sula : 2000 : 33-36).
Dilihat dari cakupannya, pendidikan dapat dipahami pada tiga wilayah pengertian. Pertama, pendidikan dalam makna maha luas, yakni ketika pendidikan diproporsikan sebagai kenyataan kehidupan manusia. Kehidupan adalah pendidikan dan pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Kedua, pendidikan dalam makna luas terbatas, ketika pendidikan diproporsikan sebagai sejumlah program pengembangan kualitas manusia. Ketiga, pendidikan dalam makna sempit, yakni ketika pendidikan diproporsikan terbatas pada formal sekolah. (H.Mahmud dan Tedi Priatna : 2005 : 14-15).
Dari beberapa pengertian pendidikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha dalam rangka pengembangan kualitas diri manusia yang dilakukakn orang dewasa kepada yang belum dewasa dalam segala asfeknya. Pendidikan sebagai sebuah aktivitas yang disengaja untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan satu sistem yang saling mempengaruhi akibat melibatkan berbagai faktor yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
- Konsep Dasar Komponen-komponen Pendidikan
H. Mahmud dan Tedi Priatna menyebutkan tujuh komponen pendidikan,
1. Dasar dan Tujuan pendidikan
a. Dasar Pendidikan
Pendidikan sebagai proses timbal balik antara pendidik dan anak didik dengan melibatkan berbagai faktor pendidikan lainnya, diselenggarakan guna mencapai tujuan pendidikan, dengan senantiasa didasari oleh nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai itulah yang kemudian disebut sebagai dasar pendidikan. Setiap sistem pendidikan memiliki dasar pendidikan tertentu, yang merupakan cerminan filsafat dari sistem pendidikan tersebut. Oleh karena itu sistem pendidikan pada suatu bangsa akan berbeda dengan yang terdapat pada bangsa yang lain.
Dasar yang menjadi acuan pendidikan harus merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan pada aktivitas yang dicita-citakan. Nilai yang terkandung harus mencerminkan nilai yang universal, tentang keseluruhanaspek kehidupan manusia, serta merupakan standar nilai yang dapat mengevaluasi kegiatan pendidikan yang selama ini berjalan.
b. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah hasil-hasil yang ingin dicapai melalui proses pendidikan. Adapun besar atau kecil dan ruang lingkup yang ingin dicapai hasil pendidikan, hal tersebut ditentukan dan dibatasi oleh klasifikasi tujuan pendidikan.
2. Pendidik
Pendidik ialah orang yang memikul tanggung jawab untuk membimbing. Pendidik berbeda dengan pengajar, sebab pengajar hanya berkewajiban untuk menyampaikan materi pelajaran kepada murid. Sedangkan pendidik bukan hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pengajaran, tetapi juga membentuk kepribadian seorang anak didik.
Secara umum, pendidik adalah perencana dan pelaksana dari sistem pendidikan. Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan bimbingan atau bantuan kepada anak didik berdasarkan nilai-nilai tertentu dalam upaya mengembangkan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaan.
Istilah lain yang lazim dipergunakan untuk mendidik ialah guru. Pendidik dan guru memiliki persamaan arti. Bedanya ialah bahwa istilah guru dipakai di lingkungan pendidikan formal, sedangkan pendidik dipakai di lingkungan formal, informal, maupun non formal.
Pada dasarnya pendidik yang pertama adalah orang tua dari anak didik. Karena keterbatasan kemampuan, waktu dan lain sebagainya, orang tua menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada orang lain yang memiliki kompeten untuk melaksanakan tugas mendidik, guna menggantikan fungsinya sebagai pendidik.
3. Anak Didik
Dalam sebuah proses belajar mengajar, seorang pendidik harus dapat memahami hakikat anak didiknya sebagai objek pendidikan. Kesalahan dalam memahami hakikat anak didik dapat menjadikan kegagalan total.
Beberapa hal yang perlu dipahami, menurut Muhaimin, adalah sebagai berikut :
1. Anak didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh disamakan dengan orang dewasa.
2. Anak didik mengikuti periode-periode pola perkembangan tertentu. Implikasinya dalam pendidikan adalah bahwa proses pendidikan harus berperiode pola perkembangan tersebut.
Membicarakan anak didik sesungguhnya membicarakan hakikat manusia yang memerlukan bimbingan. Secara kodrati, seorang anak sangat memerlukan pendidikan dan bimbingan dari orang dewasa, paling tidak, karena dua aspek, yaitu :
1. Aspek Pedagogis; para ahli pendidikan memandang manusia sebagai animal educandum, makhluk yang memerlukan pendidikan. Manusia memiliki beberapa potensi yang harus dikembangkan melalui pendidikan;
2. Aspek Sosiologis dan Kultural; Para ahli sosiologis memandang bahwa manusia merupakan homosocius; yakni makhluk yang berwatak dan berkemampuan dasar atau instink untuk hidup beermasyarakat. Sebagai makhlu social (social responsibility) yang diperlukan dalam mengembangkan hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antar sesama anggota masyarakat dalam kesatuan hidup mereka. Pendidikan adalah upaya transformasi dan transmisi nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat kepada generasi berikutnya.
4. Materi Pendidikan (Kurikilum)
Materi pendidikan adalah semua bahan pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik. Materi pendidikan ini sering juga disebut dengan istilah kurikulum, karena kurikulum menunjukkan makna pada materi yang disusun secara sistematis guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Secara umum, kurikulum adalah kegiatan yang mencakup berbagai rencana kegiatan anak didik yang terperinci berupa bentuk-bentuk bahan pendidikan, saran-saran, strategi belajar mengajar, pengaturan-pengaturan program agar dapat diterapkan, dan hal-hal yang mencakup pada kegiatan yang bertujuan mencapai tujuan yang diinginkan.
5. Metode Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, istilah metode secara sederhana berarti suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar tercapai tujuan pendidikan. Secara umum, metode pendidikan dapat diartikan cara yang digunakan dalam upaya mendidik. Dalam proses pendidikan, metode mempunyai kedudukan sangat penting guna mencapai tujuan pendidikan. Metode merupakan sarana yang membermaknakan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum pendidikan sedemikian rupa, sehingga dapat dipahami atau diserap oleh anak didik menjadi pengertian-pengertian yang fungsional terhadap tingkah lakunya.
6. Alat Pendidikan
Alat pendidikan yaitu segala sesuatu yang digunakan oleh pelaksana kegiatan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Pada garis besarnya alat pendidikan ada dua macam, yaitu alat fisik dan alat non fisik.
1. Alat fisik, berupa segala sesuatu perlengkapan pendidikan berupa sarana dan fasilitas dalam bentuk konkrit, seperti bangunan, alat tulis dan baca, dan sebagainya.
2. Alat non fisik, berupa kurikulum, pendekatan, metoda dan tindakan berupa hadiah dan hukuman serta uswatun hasanah atau contoh teladan yang baik dari pendidik.
7. Lingkungan Pendidikan
Proses pendidikan selalu dipengaruhi oleh lingkungan yang ada di sekitarnya, baik lingkungan itu menunjang maupun menghambat terhadap proses pencapaian tujuan pendidikan. Lingkungan yang mempengaruhi proses pendidikan tersebut, yaitu :
a. Lingkungan sosial, yang terdiri dari :
- lingkungan keluarga
- lingkungan sekolah/lembaga pendidikan
- lingkungan masyarakat
b. Lingkungan keagamaan, yaitu nilai-nilai agama yang hidup dan berkembang di sekitar lembaga pendidikan.
c. Lingkungan budaya, yaitu nilai-nilai budaya yang hidup dan berkembang di sekitar lembaga pendidikan.
d. Lingkungan alam, baik keadaan iklim maupun geografisnya.
Semua lingkungan tersebut selalu ikut serta mempengaruhi proses pendidikan, sehingga apabila keadaan lingkungan di sebuah lembaga pendidikan itu baik, maka akan berpengaruh positif dan menunjang terhadap kelancaran dan keberhasilan pendidikan Islam. Namun apabila lingkungan itu tidak baik (buruk), maka akan berpengaruh negatif dan akan menghambat terhadap kelancaran dan keberhasilan pendidikan Islam.
Konsep dasar faktor atau komponen pendidikan yang telah dijelaskan di atas, berinteraksi secara berkesinambungan saling melengkapi dalam sebuah proses pendidikan guna mencapai tujuan pendidikan. Proses pendidikan pada hakekatnya adalah interaksi komponen tersebut tertentu dalam sebuah pencarian, pembentukan, dan pengembangan sikap serta perilaku anak didik hingga mencapai batas optimal. (H. Mahmud dan Tedi Priatna : 2005 : 95-107).
Mengenai konsep dasar komponen-komponen pendidikan ini Umar Tirtarahardja dan la Sula sedikit memiliki perbedaan konsep. Mereka menyebutkan bahwa unsur-unsur pendidikan dalam proses pendidikan melibatkan banyak hal, yaitu :
1. Subyek yang dibimbing (peserta didik)
2. Orang yang membimbing (pendidik)
3. Interaksi antar peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif)
4. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan)
5. Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan)
6. Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode)
7. Tempat di mana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan). (Umar Tirtarahardja dan La Sula : 2000 : 51-52).
Berdasarkan dua konsep di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen pendidikan terdiri dari :
1.Dasar pendidikan
2.Tujuan pendidikan
3.Pendidik
4.Anak didik
5.Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif)
6.Materi pendidikan (kurikulum)
7.Metode pendidikan
8.Alat pendidikan
9.Lingkungan pendidikan.
- Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah aktivitas bimbingan yang disengaja untuk mencapai kepribadian muslim, baik yang berkenaan dengan dimensi jasmani, ruhani, akal, maupun moral. Pendidikan Islam adalah proses bimbingan secara sadar seorang pendidik sehingga aspek jasmani, ruhani, dan akal anak didik tumbuh dan berkembang menuju terbentuknya pribadi, keluarga dan masyarakat yang islami. (H. Mahmud dan Tedi Priatna : 2005 : 18-19).
Definisi lain mengatakan, pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi. (H.M.Arifin : 2008 : 8).
Nasruddin Syarif mengungkapkan bahwa pendidikan yang dimaksud oleh Islam bukanlah pendidikan yang mencerai beraikan potensi anak (kognitif), sikap (afektif), ataupun mental (psikomotorik), malainkan menyatukan semuanya. Sehingga sangat tidak sesuai dengan Islam jika pendidikan hanya diarahkan agar anak didik cerdas, sementara dalam sikap dan mental sangat menyimpang. Demikian juga yang hanya mengajarkan bagaimana bersikap baik tapi hampa dengan kecerdasan. Atau yang unggul dalam seni, mempunyai daya empati yang tinggi, tapi ia tidak cerdas dan tidak beretika.
Dan yang penting dari itu semua, pendidikan dalam Islam ditujukan agar manusia semakin menghamba kepada Rabb-nya. Itu mengapa dalam aktivitas pendidikan, dicamkan ‘bismi rabbikal-lsdzi khalaqa’, dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan. Artinya, semua potensi dalam pendidikan, pengajaran, dan pencarian ilmu haruslah dilandasi dengan nilai-nilai ketuhanan. (Majalah Risalah : Juni 2009 : 14).
Senada dengan apa yang diungkapkan Nasruddin Syarif di atas, Dedeng rosidin mengatakan kalau melihat dari konsep pendidikan Islam itu sebenarnya ujung-ujungnya psikomotorik, a-majal an-nafsi al-haraki. Kalau kita mengambil konsepnya An-Nahlawi, ada al-majal al-ma’rifi, al-majal al-infi’ali, dan al-majal an-nafsi al-haraki. Kalau al-majal al-ma’rifi faktornya kognitif, al-majal al-infi’ali faktornya afektif, dan al-majal an-nafsi al-haraki adalah faktor psikomotorik. Jadi pendidikan Islam itu ujung-ujungnya perilaku. Semacam kita lihat saja dalam iman, iman itu kan Qoulun bil lisan itu ma’rif, kemudian tashdiq bil qalbi itu infi’al. dan tidak cukup itu kan, pendidikan itu harus wal ‘amalu bil arkan. Nah ‘amalun bil arkan ini yang dimaksud al-majal an-nafsi al-haraki. (Majalah Risalah : Juni 2009 : 26-27). Demikian Dedeng Rosisdin menjelaskan ketika diwawancara Redaksi Majalah Risalah perihal pendidikan di Indonesia saat ini.
Dari beberapa pengertian pendidikan Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang membimbing secara sengaja untuk mencapai kepribadian muslim, dengan tidak mencerai beraikan potensi otak (kognitif), sikap (afektif), dan mental (psikomotorik) menuju terbentuknya pribadi, keluarga, dan masyarakat yang islami dalam segala aspek kehidupan, baik dunia maupun ukhrawi.
- Pemikiran Pendidikan Islam
Pemikiran pendidikan Islam berarti pemikiran pendidikan yang secara khas memiliki ciri yang islami, yang dengan ciri khas itu ia membedakan dirinya dengan model pemikiran pendidikan lainnya.
Pemahaman tersebut membawa konsekuensi logis bahwa penempatan kata Islam setelah kata pemikiran pendidikan mengindikasikan adanya pemikiran pendidikan dalam ajaran Islam. Pemikiran pendidikan yang didefinisikan secara akurat dan bersumber pada ajaran (agama) Islam, itulah pemikiran pendidikan Islam. Hal ini perlu ditegaskan untuk menghindari akulturasi pemikiran pendidikan non-Islam yang “terpaksa” dilegitimasi oleh Islam sebagai pemikiran pendidikan Islam, padahal isi dan semangatnya tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Sampai sekaran masih banyak orang yang mempertanyakan tentang istilah mana yang paling tepat digunakan antara “Pemikiran Pendidikan Islam” dan “Pemikiran Pendidikan Islami”. Istilah “Pemikiran Pendidikan Islam” biasanya diakulturasikan untuk menggambarkan keseluruhan pemikiran pendidikan yang dihasilkan oleh umat Islam, tetapi belum tentu sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Sedangkan istilah “Pemikiran Pendidikan Islami” digunakan untuk mengggambarkan hasil pemikiran pendidikan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, tatapi belum tentu tentu dihasilkan oleh umat Islam. Memang seharusnya pemikiran pendidikan yang dihasilkan oleh umat Islam sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, dan istilah yang paling tepat untuk itu mungkin adalah “Pemikiran Pendidikan Islam yang Islami”.
Dalam buku (Pemikiran Pendidikan Islam) ini, akan dipilih istilah “Pemikiran Pendidikan Islam” dalam makna seperti diutarakan terakhir tadi, yakni pemikiran pendidikan yang sesuai dengan prinsip Islam dan sebagainya dihasilkan oleh umat Islam. (H. Mahmud dan Tedi Priatna : 2005 : 20-21).
Dari pemaparan di atas tergambar bahwa pemikiran pendidikan Islam adalah pemikiran pendidikan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan sebaiknya dihasilkan oleh umat Islam. Seperti An-Nahlawi yang menyebutkan tiga konsep pendidikan Islam, al-majal al-ma’rifi (kognitif), al-majal al-infi’ali(afektif), dan al-majal an-nafsi al-haraki (psikomotorik). Konsep An-Nahlawi ini adalah contoh dari pemikiran pendidikan Islam.
- Tujuan Pendidikan Islam
Pada pembahasan, Pemikiran tentang Tujuan Pendidikan Islam, H. Mahmud dan Tedi Priatna dalam bukunya, Pemikiran Pendidikan Islam membuat beberapa kesimpulan.
1. Tujuan pendidikan Islam adalah hasil yang ingin dicapai dari proses pendidikan yang berlandaskan Islam. Ahmad D. Marimba mengemukakan dua macam tujuan, yaitu tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara adalah tercapainya berbagai kemampuan seperti kecakapan jasmaniah, pengetahuan membaca, menulis, pengetahuan ilmu-ilmu kemasyarakatan, kesusilaan, keagamaan, kedewasaan jasmani-rohani dan sebagainya. Sedangkan tujuan akhir pendidikan Islam adalah terwujudnya kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya merealisasikan atau mencerminkan ajaran Islam.
2. Pembahasan tujuan pendidikan berkait amat erat dengan tujuan hidup manusia. Tujuan hidup manusia menurut Islam tidak bisa terlepas dari ideolog Islam tentang manusia yaitu selaku Abdullah dan khalifatullah dalam makna akumulatif, yang pengejewantahannya akan melahirkan keberadaan manusia yang digambarkan dalam do’a yang selalu dibaca dalam shalat, yang artinya : “Wahai Tuhanku, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semuanya adalah untuk-Mu. Ya Allah Tuhan seru sekalian alam.”
3. Hasil seminar pendidikan di Cipayung Bogor pada tahun 1960 melahirkan rumusan tujuan pendidikan islami yakni menanamkan rasa taqwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran untuk membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi luhur menurut ajaran Islam.
4. Secara umum, tujuan pendidikan Islam adalah mengarahkan dan membimbing manusia melalui proses pendidikan sehingga menjadi orang dewasa yang berkepribadian muslim yang taqwa, berilmu pengetahuan dan berketerampilan melaksanakan ibadah kepada Tuhannya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Tujuan umum pendidikan Islam ialah muslim yang sempurna, atau manusia yang taqwa, atau manusia yang beriman atau manusia yang beribadah kepada Allah SWT. (H. Mahmud dan Tedi Priatna : 2005 : 117).
Kalau pendidikan umum hanya ingin mencapai kehidupan duniawi yang sejahtera baik dalam dimensi bernegara maupun bermasyarakat, maka pendidikan Islam bercita-cita lebih jauh yang bernilai transendental, bukan insidental, atau aksidental di dunia, yaitu kebahagiaan hidup setelah mati.
Jadi nilai-nilai yang hendak diwujudkan oleh pendidikan Islam adalah berdimensi transendental (melampaui wawasan hidup duniawi) sampai ke ukhrawi dengan meletakkan cita-cita yang mengandung dimensi nilai duniawi sebagai sarananya. (H.M.Arifin : 2000 : 138).
Secara ringkas dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membimbing manusia agar sesuai dengan fitrahnya sebagai hamba Allah untuk tercapainya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
- Proses dan Produk Pendidikan Islam
Bilamana pendidikan Islam kita artikan sebagai proses, maka diperlukan adanya sistem dan sasaran atau tujuan yang hendak dicapai dengan proses melalui sistem tertentu. Hal ini karena proses didikan tanpa sasaran dan tujuan yang jelas berarti suatu oportunisme, yang akan menghilangkan nilai hakiki pendidikan.
Oleh karena itu, proses yang demikian mengandung makna yang bertentangan denga pekerjaan mendidik itu sendiri, bahkan dapat menafikan harkat dan martabat serta nilai manusia sebagaii khalifah Allah di muka bumi, di mana aspek-aspek kemampuan individual (al-fadiyah), sosialitas (al-ijrimaiyah), dan moralitas (al-ahlaqiyah), merupakan hakikat kemanusiaannya (anthropologis centra). Daalm sistem proses, terdapat umpan balik (feedback) melalui evaluasi yang bertujuan memperbaiki mutu produk.
Oleh karena itu, adanya sasaran dan tujuan merupakan kemutlakan dalam proses kependidikan. Sasaran yang hendak dicapai yang dirumuskan secara jelas dan akurat itulah yang mengarahkan proses kependidikan Islam ke arah pengembangan optimal pada ketiga aspek kemampuan tersebut yang didasari dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Sedang evaluasi merupakan alat pengoreksi kesalahan atau penyimpangan yang terjadi dalam proses yang berakibat pada produk yang tidak tepat. Proses mengandung pengertian sebagai penerapan cara-cara atau sarana untuk mencapai hasil yang diharapkan. (H.M.Arifin : 2008 : 23).
Maka, sistem pendidikan Islam yang berlandaskan nilai-nilai ajaran Islam serta tujuan pendidikan Islam untuk membimbing manusia agar sesuai dengan fitrahnya sebagai hamba Allah untuk tercapainya kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah dua komponen pendidikan Islam yang sangat mempengaruhi terhadap proses dan produk pendidikan Islam.
- Akar-Akar Pendidikan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
Pendidikan Islam yang berpedoman kepada nilai-nilai Islam tentunya menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai rujukan utama dalam setiap perumusan komponen-komponen pendidikan dan segala aspek yang berkaitan dengan pendidikan Islam.
Pada buku yang disusun Dedeng Rosidin berjudul, Akar-Akar Pendidikan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits (kajian semantic istilah-istilah tarbiyat, ta’lim, tadris, tahdzib, dan ta’dib), penyusun memaparkan secara jelas dan terperinci mengenai lima istilah pendidikan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang meliputi istilah tarbiyat, ta’lim, tadris, tahdzib, dan ta’dib.
Dedeng Rosidin menegaskan, jika kelima istilah tersebut terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits, tentu kelima-limanya telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW juga oleh para sahabatnya serta para tabi’in dan tabi’it tabi’in dalam kehidupan mereka dalam konteks belajar mengajar antara Nabi SAW dengan para sahabatnya.
Hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting karena pada pengembangan selanjutnya dapat dilakukan penelitian untuk mengkaji pendidikan Islam lebih lengkap dan sempurna lagi. (Dedeng Rosidin : 2003 : 11).
Untuk memperkuat kajian karya tulis ini, berikut penulis kutip beberapa kesimpulan dari karya Dedeng Rosidin tersebut.
A. At-Tarbiyat
1. At-Tarbiyat dalam Al-Qur’an
Kata-kata yang termasuk kategori fi’l terdapat pada enam kata yang berbeda, yaitu : arbaa (QS.16:92), yurbii (QS.2:278), nurabbika (QS.26:18), rabbayaanii (QS.17:24), yarbuu (QS.30:39), rabbat (QS.41:39).
Sedangkan kata-kata yang termasuk kelompok ism ditemukan ada dua belas, yaitu : rabwatan (QS.23:50), ribaa/ar-ribaa (QS.3:130, QS.2:257), raabiyatan (QS.69:10), raabiyan (QS.13:17), rabaaibukum (QS.4:23), rabbaaniyyiin (QS.3:79), rabbaniyyuun (QS.5:44,63), ribbiyuun (QS.3:146), arbaaban (QS.3:64), arbaabun (QS.12:39), rabba/ar-rabbu (terdapat 952 kata rabb dalam al-Qur’an).
Pada rujukan lain dikatakan, bahwa meskipun kata at-tarbiyat tidak digunakan dalam leksikologi al-Qur’an, tetapi ada beberapa kata yang sebangun dengan kata itu, yaitu ar-rabb, rabbayaanii,nurabbi, ribbiyyuun, dan rabbani. (H. Mahmud dan Tedi Priatna : 2005 : 16).
2. At-Tarbiyat dalam Al-Hadits
Dedeng Rosidin mengutip tulisan J.A.Wensinck (penyusun kitab Al-Mu’jamul-Mufahras li Alfadzil-Haditsi’n-Nabawiy) yang menjelaskan sejumlah kosa kata, baik yang berhubungan langsung dengan ihwal pendidikan maupun yang tidak langsung.
Kosa kata tersebut ada dalam bentuk fi’l maupun dalam bentuk ism, kata-kata tersebut diantaranya adalah sebagai berikut : tarubbu (pada Al-Musnad Ahmad ibn Hanbal, II : 462), yurabbi (pada Tuhfatu’l-Ahwadzi bi syarhi Jami’it-Tirmidzi, III : 263 dan pada Fathu’l-Baarii bi Syarhi Shahiihi’l-Bukhariy, VIII : 326), yarubbanii (pada Fathu’l-Baarii bi Syarhi Shahiihi’l-Bukhariy, VIII : 326), rabba (pada Ibnu Al-Atsir, An-Nihayat fi Gharibi’l-Hadits wa’l-Atsar, II : 179), rabbi (pada Ibnu Al-Atsir, An-Nihayat fi Gharibi’l-Hadits wa’l-Atsar, II : 179), rabbuhaa (pada Ibnu Al-Atsir, An-Nihayat fi Gharibi’l-Hadits wa’l-Atsar, II : 179), rabaaibu (pada Al-Musnad Ahmad ibn Hanbal, VI : 182), rabbaaniyyiina (pada Al-Musnad Ahmad ibn Hanbal, VI : 182).
3. Makna-makna At-Tarbiyat
Setelah mengkaji ayat-ayat al-Qur’an, beberapa hadits Nabi, dan unsur kebahasaan yang kemudian dianalisa, maka dapat diambil kandungan makna-makna tarbiyat sebagai berikut.
1. Tarbiyat adalah proses pengembangan dan bimbingan; jasad, akal, dan jiwa yang dilakukan secara berkelanjutan sehingga murabbi (anak didik) bisa dewasa dan mandiri untuk hidup di tengah masyarakat.
2. Tarbiyat adalah kegiatan yang disertai dengan penuh kasih sayang, kelembutan hati, perhatian, bijak dan menyenangkan tidak membosankan.
3. Murabbi (pendidik) hakiki adalah pendidik yang mengembangkan jasad, akal, dan jiwa adalah Allah SWT.
4. Tarbiyat bertujuan menyempurnakan fitrah kemanu-siaan, memberi kesenangan dan kemuliaan tanpa batas sesuai syari’at Allah SWT.
5. Tarbiyat adalah proses yang dilakukan dengan pengaturan yang bijak dan dilaksanakan secara bertahap dari yang mudah kepada yang sulit.
6. Seorang murabbi (pendidik/guru) harus senantiasa mampu dan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga kemurnian syari’at Allah dan melaksanakan amar ma’ruf dan nahyi munkar.
7. Murabbi harus senantiasa berpegang teguh kepada Agama, selalu taat kepada Allah SWT, mengajarkan ilmu dan tidak berhenti belajar.
8. Tingkatan murabbi lebih tinggi dibandingkan dengan tingkatan mu’allim, dan mudarris.
9. Tarbiyat adalah mendidik anak melalui penyampaian ilmu, menggunakan metode yang mudah diterima sehingga ia dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
10. Tarbiyat adalah kegiatan yang mencakup pengem-bangan, pemeliharaan, penjagaan, pengurusan, penyampaian ilmu, pemberi petunjuk, bimbingan, penyempurnaan, dan perasaan memiliki terhadap anak.
11. Tarbiyat dilakukan dengan niat taat beribadah kepada Allah SWT dan untuk mencapai ridla-Nya.
12. Tarbiyat terjadi pada diri manusia dalam artian yang umum bagi berbagai tingkat manusia; baik usia anak kecil atau usia selanjutnya.
13. Tarbiyat meliputi : (1) tarbiyat khalqiyyat, yaitu pembinaan dan pengembangan jasad, akal, jiwa; potensi, perasaan dengan berbagai petunjuk. (2) tarbiyat diniyyat tahdzibiyyat, pembinaan jiwa dengan wahyu untuk kesempurnaan akal dan kesucian jiwa menurut pandangan Allah SWT.
14. Pada kegiatan tarbiyat tersirat adanya murabbi (guru), yurabbi (proses), mutarabbi (anak didik), dan tarbiyat itu sendiri yang tidak bersifat bahan ajar.
15. Tarbiyat dapat terjadi pula diterapkan untuk menyebutkan proses pendidikan pada binatang dan tumbuhan dalam artian memberi makan, memelihara, atau menjaga supaya tumbuh baik dan benar.
B. At-Ta’lim
1. At-Ta’lim dalam Al-Qur’an
Berkaitan dengan kata at-ta’lim dalam al-Qur’an dipakai kata berupa fi’l (kata kerja) dan ism (kata benda). Kata yang berupa fi’l digunakan dalam dua bentuk; (1) Fi’l madliy disebut 25 kali dalam 25 ayat di 15 surat; (2) Fi’l mudlari disebut 16 kali dalam 16 ayat di 8 surat.
Kata-kata dalam bentuk fi’l madliy (kata kerja lampau) adalah ‘allama dengan berbagai variasinya, antara lain : QS.2:31, QS.55:1-4, QS.96:4-5, QS.5:100, QS>5:4, QS.2:32, QS.2:101, QS.4:113, QS.2:239, QS.20:71, QS.26:49, QS.12:68, QS.18:65, QS.21:80, QS.36:69, QS.2:282, QS.53:5, QS.18:66, QS.6:91, QS.27:16, QS.18:66, QS.3:79, QS.49:16, QS.5:4, QS.12:21, QS.2:102, QS.12:6, QS.2:151, QS.2:282, QS.3:48, QS.16:103, QS.2:129, QS.3:164, QS.62:2, QS.2:102.
2. At-Ta’lim dalam Al-Hadits
Diantaranya, hadits riwayat Bukhari dalam Fathu’l-Baarii bi Syarhi Shahiihi’l-Bukhariy, XIII : 293; hadits riwayat Bukhari dalam Fathu’l-Baarii bi Syarhi Shahiihi’l-Bukhariy, II : 170; hadits riwayat Muslim dalam Shahih Muslim bi syarhi’n-Nawawiy, XIII : 46; hadits riwayat Muslim dalam Shahih Muslim bi syarhi’n-Nawawiy, V : 20; hadits riwayat Ahmad dalam Al-Musnad Ahmad ibn Hanbal, I : 379; hadits riwayat Tirmidzi dalam Tuhfatu’l-Ahwadzi bi syarhi Jami’it-Tirmidzi, XIII : 46.
3. Makna-makna At-Ta’lim (pengajaran besreta penekananan makan secara berulang-ulang )
1. Ta’lim adalah proses pemberitahuan sesuatu dengan berulang-ulang dan sering sehingga muta’allim (siswa) dapat mempersepsikan maknanya dan berbekas pada dirinya.
2. Ta’lim rabbani adalah penyampaian sesuatu melalui wahyu atau ilham dengan cara; Allah menghadapi jiwa seseorang dan memandangnya dengan pandangan ilahi. Allah SWT sebagai guru (mu’allim) dan jiwa sebagai murid (muta’allim). Ilmu diberikan kepadanya (pen. Nabi/Rasul) tanpa belajar dan berfikir.
3. Ta’lim ialah kegiatan yang dilakukan oleh mu’allim dan muta’allim yang menuntut adanya adab-adab tertentu, bersahabat, dan bertahap.
4. Penyampaian materi di dalam ta’lim diiringi dengan penjelasan sehingga muta’allim menjadi tahu dari asalnya tidak tahu dan menjadi faham dari asalnya yang tidak faham.
5. Ta’lim bertujuan agar ilmu yang disampaikan bermanfaat, melahirkan amal shalih, memberi petunjuk ke jalan kebahagiaan dunia akhirat untuk mencapai ridal Allah SWT.
6. Ta’lim merupakan kegiatan yang dilakukan oleh mu’allim tidak hanya sekedar penyampaian materi, melainkan disertai dengan penjelasan isi, makna dan maksudnya sehingga muta’allim menjadi faham, terjaga dan terhindar kekeliruan, kesalahan, dan kebodohan.
7. Ta’lim adalah pembinaan intelektual, pemberian ilmu yang mendorong amalan yang bermanfaat sehingga muta’allim jadi suri tauladan dalam perkataan dan perbuatan.
8. Ta’lim dilakukan dengan niat karena Allah SWT dengan metoda yang mudah diterima.
9. Sifat mu’allim dalam kegiataan ta’lim tidak boleh pilih kasih, sayang kepada yang bodoh,berperilaku baik dalam mengajar, bersikap lembut, memberi pengertian dan pemahaman, dan menjelaskan dengan mengggunakan / mendahulukan nash (ayat al-Qur’an atau Hadits Nabi) tidak dengan ra’yu (akal) kecuali bila diperlukan.
10. Pada kegiatan ta’lim tersirat adanya mu’allim (guru sebagai pengajar), yu’allim (proses kegiatan belajar mengajar), dan al-ilmu (materi atau bahan yang disampaikan), pada umumnya dalam ta’lim materi itu disebutkan.
11. Mu’allim yang sebenarnya secara mutlak adalah Allah SWT karena Dia sebagai sumber ilmu dan Dia-lah pemberi ilmu.
12. Ta’lim terjadi pada diri manusia juga terjadi pada binatang. Pada umumnya ta’lim digunakan bagi manusia dewasa.
13. Mu’allim harus senantiasa meningkatkan diri dengan belajar dan membaca sehinga ia memperoleh banyak ilmu.
14. Mu’allim senantiasa berlaku baik, tidak suka menyiksa fisik, balas dendam, membenci, dan mencaci murid.
C. At-Tadris
1. At-Tadris dalam Al-Qur’an
Dalam al-Qur’an terdapat bentuk fi’l mujarrad dari darrasa (masdar-nya at-tadris), yaitu darasa. Kata darasa disebut dalam al-Qur’an sebanyak 6 kali dalam 6 ayat di 5 surat. Dari keenam kata tersebut terbagi ke dalam dua fi’l madliy, tiga fi’l mudlari, dan satu ism.
Berikut ini kata-kata yang dimaksud, darasta (QS.6:105), darasuu (QS.7:169), tadrusuuna (QS.3:79 dan QS.68:37), yadrusuunahaa (QS.34:44), daraasatihim (QS.6:156).
2. At-Tadris dalam Al-Hadits
Data-data yang ditemukan dari Al-Mu’jamu’l-Mufahras li Alfadi’l-Haditsi’n-Nabawiy, diantaranya : yudrasu (dalam Sunan Ibnu Majah, II : 1344), yadrusu (dalam Al-Musnad Ahmad ibn Hanbal, VI ; 11), yudaarisuhu (dalam Sunan An-Nasa’i, II : 95), yatadaarasuunahu (dalam Shahih Muslim bi syarhi’n-Nawawiy dan dalam Tuhfatu’l-Ahwadzi bi syarhi Jami’it-Tirmidzi, VIII : 215), fadrusuuhaa (dalam Tuhfatu’l-Ahwadzi bi syarhi Jami’it-Tirmidzi, VIII : 215), tadarasuu (dalam An-Nihayat fi Gharibi’l-Hadits wa’l-Atsar, II : 179), duruusa (dalam Umdatu’l-Qari syarh Shahihi’l-Bukhari, I : 129), al-midraari (dalam Umdatu’l-Qari syarh Shahihi’l-Bukhari, XXIII : 64), madraasuhaa dan yudarrisuhaa (dalam Umdatu’l-Qari syarh Shahihi’l-Bukhari, XVII : 147).
3. Makna-makna At-Tadris (pangajaran bacaan secara berulang-ulang)
1. Tadris adalah suatu bentuk kegiaatan yang dilakukan oleh mudarris untuk membacakan dan menyebutkan sesuatu kepada mutadarris (murid) dengan berulang-ulang dan sering.
2. Tadris bertujuan agar materi yang dibacakan atau yang disampaikan itu mudah dihafal dan diingat. Ia merupakan kegiatan pewarisan kepada murid dari para leluhurnya.
3. Kegitan dalam tadris tidak sekedar membacakan atau menyebutkan materi, tetapi juga disertai dengan mempelajari, mengungkap, menjelaskan, dan mendis-kusikan isi dan maknanya.
4. Tadris adalah suatu upaya menjadikan dan membelajarkan murid (mutadarris) supaya mau membaca, mempalajari, dan mengkaji sendiri.
5. Dalam tadris, seorang murid (mutadarris) diharapkan mengetahui dan memahami benar yang disampaikan oleh mudarris (guru) serta dapat mengamalkannya di dalam kehidupan sehari-hari.
6. Tadris dilakukan dengan niat beribadah kepada Allah SWT dan mendapat ridla-Nya.
7. Kegiatan belajar dalam tadris bisa berlangsung dengan cara saling bergantian atau bergiliran, yaitu sebagian membacakan sebagian lainnya memperhatikan dengan saling mengorerksi, membenarkan kesalahan lafal yang dibaca sehingga terhindar dari kekeliruan dan lupa.
8. Dalam tadris tersirat adanya mudarris (guru) sebagai pengajar, yudarris (proses kegiatan belajar), mutadarris (murid yang menerima pelajaran), dan ad-darsu (pelajaran yang disampaikan).
9. Tadris menunjukan kegiatan yang terjadi pada diri manusia dalam arti yang umum.
D. At-Tahdzib
1. At-Tahdzib dalam Al-Hadits
Kata-kata yang ditemukan dalam Hadits tentang al-tahdzib dalam kitab Al-Mu’jamu’l-Mufahras li Alfadi’l-Haditsi’n-Nabawiy adalah : yuhadzdzabu (dalam Al-Musnad Ahmad ibn Hanbal, V : 151 dan An-Nihayat fi Gharibi’l-Hadits wa’l-Atsar, V : 255), hudzdzibuu (dalam Fathu’l-Baarii bi Syarhi Shahiihi’l-Bukhariy, XI : 395), semantara dalam An-Nihayat fi Gharibi’l-Hadits wa’l-Atsar, V : 255 ditemukan kata fahadzdzibuu.
2. Makna-makna At-Tahdzib
1. Tahdzib adalah bentuk kegiatan yang bertujuan untuk membersihkan sesuatu yang tidak layak yang ada pada diri individu (muhadzdzib) sehingga benar-benar ia menjadi bersih.
2. Tahdzib adalah proses perbaikan prilaku dan hati nurani karena adanya penyimpangan atau kekhawatiran akan adanya penyimpangan.
3. Tahdzib adalah proses pembersihan dan perbaikan sesuatu yang tidak layak yang terdapat pada individu. Tahdzib dilakukan melalui penelusuran sumber penyebabnya.
4. Tahdzib berkaitan dengan perilaku, hati nurani atau akhlak seseorang
5. Tahdzib adalah suatu upaya pembinaan terhadap seseorang agar mau membersihkan dirinya supaya ia terhindar dari noda dan dosa.
6. Tahdzib merupakan kegiatan pembersihan dan perbaikan suatu penyimpangan dengan sesegera mungkin.
7. Tahdzib terjadi pada manusia dalam arti umum, agar manusia menjadi insan muslim yang bersih dan mulia menurut syari’at Allah SWT.
8. Dalam tahdzib tersirat adanya muhadzdzib (guru) yang melakukan tahdzib, yuhadzdzib (proses / kegiatan dalam tahdzib), mutahadzdzib (murid sebagai objek), dan tahdzib itu sendiri yang bersifat umum dan kompleks, tidak bersifat bahan ajar atau suatu topik.
E. At-Ta’dib
1. At-Ta’dib dalam Al-Hadits
Kata-kata yang ditemukan dalam hadits tentang at-tahdzib dalam kitab Al-Mu’jamu’l-Mufahras li Alfadi’l-Haditsi’n-Nabawiy ditemukan beberapa kata yang seakar dengan kata at-ta’dib. Kata-kata itu adalah sebagai berikut : addaba (dalam ‘Aunu’l-Ma’bud syarh Sunan Abu Dawud, VI : 174), fa-addabahunna (dalam ‘Aunu’l-Ma’bud syarh Sunan Abu Dawud, VII : 38), addibuu (dalam ‘Abdullah Nasih ‘Ulwan, Tarbiyatu’l-Aulad fi’l-Islam, I : 159), fa-addabahaa (dalam Fathu’l-Baarii bi Syarhi Shahiihi’l-Bukhariy, I : 190), yuaddibu (dalam Tuhfatu’l-Ahwadzi bi syarhi Jami’it-Tirmidzi, VI : 70), tuaddibuhunna dan tuaddibuuhunna (dalam Shahih Muslim bi syarhi’n-Nawawiy, III : 22), ta-diibu (dalam ‘Aunu’l-Ma’bud syarh Sunan Abu Dawud, IV : 136), addibuuhum (dalam Umdatu’l-Qari syarh Shahihi’l-Bukhari, XIX : 253).
2. Makna-makna At-Ta’dib
1. Ta’dib adalah penanaman akhlaq pada diri individu (anak) supaya berhati bersih dan berperilaku baik.
2. Ta’dib adalah mendidik hati dan perilaku mutaaddib (murid) dengan syari’at Allah SWT serta mengajarkannya kepadanya, agar ia beriman dan berilmu, berhati bersih, berperilaku mulia, dan bertaqwa untuk mencari ridla-Nya.
3. Ta’dib adalah pendidikan akhlaq yang memberi nilai keilmuan serta melahirkan amal shalih dan membawa manfaat yang kekal.
4. Pendidikan dalam ta’dib merupakan pengokohan, bimbingan, penjagaan terhadap perilaku dan nurani sejalan dengan ajaran Allah SWT.
5. Ta’dib pada umumnya terjadi apda diri manusia sejak usia anak.
6. Secara umum ta’dib terjadi pada diri manusia; anak-anak dan dewasa.
7. Ta’dib dapat terjadi juga pada binatang.
8. Proses ta’dib terjadi sebelum proses ta’lim.
9. Kegiatan dalam ta’dib senantiasa berjalan dengan cara yang baik dan perilaku yang terpuji.
10. Di dalam ta’dib tersirat adanya muaddib (guru), yuaddib (proses), mutaaddib (anak didik) dan ta’dib itu sendiri yang tidak berbentuk bahan ajar. (Dedeng Rosidin : 2003 : 17-187).
Demikianlah rangkuman penulis dari buku, Akar-Akar Pendidikan Islam dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits (Kajian semantik istilah-istilah tarbiyat, ta’lim, tadris, tahdzib, dan ta’dib) karya Dedeng Rosidin. Kelima istilah pada pembahasan buku ini perlu diperhatikan secara seksama oleh umat Islam terkait dengan dasar pendidikan Islam dan komponen-komponen pendidikan Islam lainnya, karena dengan memahami kelima istilah tersebut akan lebih menggambarkan pendidikan Islam pada makna yang sebenarnya untuk dapat menemukan karakter sistem pendidikan yang khas berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.
B. Sepuluh Nasihat Lukman al-Hakim kepada Anaknya sebagai Dasar Pendidikan Islam
1. Riwayat Singkat Lukman al-Hakim
Para ulama salaf (ulama generasi terdahulu) mengalami perbedaan pendapat mengenai asal usul Lukman al-Hakim apakah ia seorang nabi ataukah sebatas seorang hamba Allah yang shalih saja. Terhadap kedua pendapat tersebut kebanyakan para ulama salaf setuju kepada pendapat kedua. (Ibnu Katsir : 1990 : III : 427).
Jamaal ‘Abdul Rahman mengutip pemaparan Imam Jalalain (Musthafa Jalalain dan Jalaluddin as-Suyuti) mengenai Lukman yang diberi gelar al-Hakim sebagai berikut. Lukman al-Hakim adalah seorang lelaki yang dikaruniai hikmah oleh Allah SWT sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Ny, (QS.Luqman [31]: 12)
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman....” (Al-Qur’an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 412).
Hikmah yang Allah SWT berikan kepadanya antara lain berupa ilmu, Agama, benar dalam ucapan, dan kata-kata yang bijaknya cukup banyak lagi telah dima’tsur. Dia memberi fatwa sebelum Nabi Dawud as diutus dan sempat menjumpai masanya, lalu menimba ilmu darinya dan (Lukman) meninggalkan fatwanya. Ketika ditanyakan kepadanya tentang sikapnya itu, dia menjawab : “Tidakkah lebih baik bagiku berhenti memberi fatwa bila telah ada yang menanganinya ?.”
Ketika ditanyakan kepadanya : “Siapakah orang yang jahat itu ?” Lukman menjawab : “Orang yang tidak peduli bila orang lain melihatnya berbuat jahat.” (Jamaal ‘Abdul Rahman : 2005 : 337).
Mujahid mengatakan bahwa Lukman adalah seorang budak hitam dari Habsyah, tebal kedua bibirnya, dan lebar kedua telapak kakinya. Pada suatu hari ketika ia sedang duduk di majelis sedang berceramah kepada orang banyak, datanglah seorang lelaki menemuinnya, lalu bertanya : “Bukankah engkau tadinya seorang penggembala kambing di tempat anu dan anu?”, Lukman menjawab : “Benar!” lelaki itu bertanya : “Lalu apakah yang ku lihat sekarang ini?”, Lukman menjawab : “Benar dalam berbicara dan diam terhadap hal-hal yang bukan urusanku.”
Khalid Ar-Rib’i mengatakan bahwa Lukman adalah seorang budak Habsyi dan tukang kayu. Pada suatu hari tuannya menyuruhnya : “Sembelihkanlah buat kami kambing ini” Lukman pun menyembelihnya dan tuannya berkata : “Keluarkanlah dari dalamnya dua gumpal darah yang terbaik.” Lalu Lukman mengeluarkan lidah dan hati, Lukman tinggal beberapa lama sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah, lalu tuannya berkata lagi : “Keluarkanlah dari dalamnya dua gumpal darah yang paling kotor” maka Lukman mengeluarkan lidah dan hati pula, membuat tuannya bertanya : “Ku perintahkan kamu untuk mengeluarkan dua gumpal darah yang terbaik dari dalamnya, maka kamu mengeluarkan keduanya, dan ku perintahkan pula kamu untuk mengeluarkan dua gumpal darah yang terburuk dari dalamnya ternyata kamu mengeluarkan keduanya pula.” Lukman pun menjawab : “Sesungguhnya tiada suatu bagian pun yang lebih baik daripada keduanya jika keduanya buruk.” (Ibnu Katsir : 1990 : III : 427).
Jamaal ‘Abdul Rahman mengutip pemaparan Al-Qurthubi yang mengatakan bahwa menurut suatu pendapat, Lukman adalah anak laki-laki saudara perempuan Nabi Ayyub as yang menikah dengan anak laki-laki adik perempuan ibunya.
Pernah ada seorang lelaki yang memandanginya, maka Lukman berkata : “Jika engkau lihat aku mempunyai sepasang bibir yang tebal lagi kasar, maka sesungguhnya di antara keduanya keluar kata-kata yang lembut, dan jika engkau melihat rupaku hitam, maka sesungguhnya kalbuku putih.” (Jamaal ‘Abdul Rahman : 2005 : 338).
Sebuah hikayat terkenal menganai Lukman beserta anaknya yaitu ketika Lukman mengajak anaknya untuk menunggangi seekor keledai mengelilingi suatu kota. Pada suatu hari Lukman bermaksud untuk memberi nasihat kepada anaknya maka ia pun membawa anaknya menuju suatu kota dengan menggiring seekor keledai ikut berjalan bersamanya. Ketika Lukman dan anaknya lewat kepada seorang lelaki, maka ia berkata kepada keduanya : “Aku sungguh heran kepada kalian, mengapa keledai yang kalian bawa tidak kalian tunggangi ?” setelah mendengar perkataan lelaki tersebut Lukman lantas menunggangi keledainya dan anaknya mengikutinya sambil berjalan.
Belum berselang lama, dua perempuan menatap heran kepada Lukman seraya berkata : “Wahai orang tua yang sombong!. Engkau seenaknya menunggangi keledai sementara engkau biarkan anakmu berlari di belakangmu bagai seorang hamba sahaya yang hina!.” Maka Lukman pun membonceng anaknya menunggangi keledai.
Kemudian Lukman beserta anaknya yang ia bonceng melewati sekelompok orang yang sedang berkumpul di pinggir jalan, ketika mereka melihat Lukman dan anaknya seorang dari mereka berkata : “Lihatlah! Lihatlah! Dua orang yang kuat ini sungguh tega menunggangi seekor keledai yang begitu lemah, seolah keduanya menginginkan keledainya mati dengan perlahan.” Mendengar ucapan itu Lukman pun turun dari keledainya dan membiarkan anaknya tetap di atas keledai.
Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan hingga bertemu dengan seorang lelaki tua. Lelaki tua itu kemudian berkata kepada anaknya Lukman : “Engkau sungguh lancang! Engkau tidak malu menunggangi keledai itu sementara orang tuamu engkau biarkan merangkak di belakangmu seolah ia adalah pelayanmu!.”
Maka ucapan lelaki tua itu begitu membekas pada benak anaknya Lukman, ia pun bertanya pada ayahnya : “Apakah yang seharusnya kita perbuat hingga semua orang dapat ridla dengan apa yang kita lakukan dan kita bisa selamat dari cacian mereka?” Lukman menjawab : “Wahai anakku, sesungguhnya aku mengajakmu melakukan perjalanan ini adalah bermaksud untuk menasihatimu, ketahuilah bahwa kita tidak mungkin menjadikan seluruh manusia ridla kepada perbuatan kita, juga kita tidak akan selamat sepenuhnya dari cacian karena manusia memiliki akal yang berbeda-beda dan sudut pandang yang tidak sama, maka orang yang berakal ia akan berbuat untuk menyempurnakan kewajibannya dengan tanpa menghiraukan perkataan orang lain.” (Lafif min’l-Asatidzah : tt : 135-136).
Demikianlah gambaran singkat tentang kepribadian Lukman yang dengan kebijaksanaan-kebijaksanaannya itu ia diberi gelar al-Hakim. Tidak heran bila kemudian Allah SWT mengangkat derajatnya dengan memasukan namanya pada al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam.
2. Isi Sepuluh Nasihat Lukman al-Hakim kepada Anaknya
Berdasarkan al-Qur'an surat Luqman ayat 13, 16, 17, 18, dan 19 penulis berpandangan bahwa pada ayat-ayat tersebut terdapat sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya. Adapun sepuluh nasihat tersebut adalah sebagai berikut,
1. Nasihat Agar Tidak Musyrik kepada Allah SWT
Disebutkan kisahnya oleh firman Allah SWT, (QS.Luqman [31]: 13)
Artinya : "Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 412).
Lukman berpesan kepada anaknya sebagai orang yang paling disayanginya dan paling berhak mendapat pemberian paling utama dari pengetahuannya. Oleh karena itulah, Lukman dalam nasihat pertamanya berpesan agar anaknya menyembah Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan dengan sesuatu pun seraya memperingatkan kepadanya : (QS.Luqman [31]: 13)
Artinya : "...Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar...." (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 412).
Yakni syirik adalah dosa yang paling besar. Sehubungan dengan hal ini, Bukhari telah meriwayatkan hadits melalui 'Abdullah ibn Mas'ud ra,
قال البخاري حدثنا قتيبة، حدثنا جرير، عن الأعمش، عن إبراهيم، عن علقمة ،عن عبد الله، رضي الله عنه، قال: لما نزلت: الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ، شق ذلك على أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم، وقالوا: أينا لم يَلْبس إيمانه بظلم؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إنه ليس بذاك، ألا تسمع إلى قول لقمان: يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Artinya : "Al-Bukhari berkata, telah menerangkan kepada kami Qutaibah, (kata Qutaibah) telah menerangkan kepada kami Jarir, dari al-A'masy, dari Ibrahim, dari ’Alqamah, dari 'Abdullah ibn Mas'ud ra ia berkata, Ketika turun ayat : 'Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman,' hal itu sangatlah memberatkan para sahabat, mereka berkata, 'Siapakah diantara kami yang tidak mencampuradukkan keimanannya dengan kedzaliman?.' Maka Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya bukanlah demikian (pengertiannya seperti yang kalian katakan), tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Lukman: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.'" (Bukhari jilid II : 1995 : 287).
Syirik di sini diungkapkan dengan perbuatan zalim. Mereka mencampur-adukkan iman mereka dengan kezaliman, yakni dengan kemusyrikan.
Selanjutnya, Lukman mengiringinya dengan pesan lain, yaitu agar anaknya menyembah Allah SWT semata dan berbakti kepada kedua orang tua sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, (QS.al-Isra [17]: 23)
Artinya : "Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 284).
Dan memang Allah SWT sering menggandengkan keduanya dalam al-Qur'an. (Ibnu Katsir jilid III : 1990 : 428-429).
Penulis tidak memasukkan ayat 14 dan 15 dari Qur'an surat Luqman sebagai wasiat Lukman al-Hakim kepada anaknya karena memperhatikan tekstual ayat tersebut tidak menggambarkan bahwa ayat tersebut adalah ucapan Lukam kepada anaknya, walau demikian tetap kedua ayat tersebut menjadi nasihat bagi anak dari Lukman al-Hakim dan anak dari orang tua muslim lainnya.
Firman Allah SWT, (QS.Luqman [31]: 14-15)
Artinya : " Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan." (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 412).
2. Nasihat Agar Memegang Teguh Ketauhidan
Disebutkan oleh firman-Nya, (QS.Luqman [31]: 16)
Artinya : "(Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 412).
Seandainya amal sekecil dzarrah (biji kecil) itu dibentengi dan ditutupi berada dalam batu besar yang membisu atau hilang dan lenyap di kawasan langit dan bumi, maka sesungguhnya Allah SWT pasti akan membalasnya. Demikianlah karena sesungguhnya Allah pasti akan membalasnya. Demikianlah karena sesungguhnya Allah, tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya dan tiada sebutir dzarrah pun, baik yang ada di langit maupun di bumi, terhalang dari penglihatan-Nya. Oleh sebab itulah disebutkan oleh firman-Nya, (QS.Luqman [31]:13)
Artinya : "Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 412).
Lathiifun, Maha Halus pengetahuan-Nya, sehingga segala sesuatu tiada yang tersembunyi betapa pun lembut dan halusnya. Khabiirun, Maha Mengetahui langkah-langkah semut sekecil apa pun yang ada di kegelapan malam yang sangat pekat. (Ibnu Katsir jilid III : 1990 : 428-429).
Jamaal 'Abdul Rahman mengutip pemaparan al-Qurthubi, diceritakan bahwa anak Lukman al-Hakim bertanya kepada ayahnya tentang sebutir biji yang jatuh ke dasar laut, apakah Allah mengetahuinya? Maka Lukman menjawabnya dengan mengulangi jawaban semula yang disebutkan dalam firman-Nya,(QS.Luqman [31]: 16)
Artinya : "(Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 412). (Jamaal 'Abdul Rahman : 2005 : 341-342).
3. Nasihat Agar Mendirikan Shalat
Lukman al-Hakim terus-menerus memberikan pengarahan kepada anaknya dalam pesan selanjutnya. Kisahnya disebutkan oleh firman-Nya, (QS.31:17)
Artinya : "Hai anakku, Dirikanlah shalat...." (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 412).
'Aqimish-shalaata, dirikanlah shalat, lengkap dengan batasan-batasan, fardhu-fardhu, dan waktu-waktunya. (Ibnu Katsir jilid III : 1990 : 430).
4. Nasihat Agar Memiliki Keberanian Memerintah kepada Kebaikan
Pesan Lukman al-Hakim yang keempat adalah agar anaknya memiliki keberanian untuk memerintah manusia untuk berbuat baik. Firman Allah SWT, (QS.Luqman [31]: 17)
Artinya : "...dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik...." (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 412).
5. Nasihat Agar Memiliki Keberanian Mencegah Kemungkaran
Pesan Lukman al-Hakim yang kelima adalah agar anaknya memiliki keberanian untuk mencegah orang-orang yang berada di sekitarnya berbuat kemungkaran. Firman Allah SWT, (QS.Luqman [31]: 17)
Artinya :"...dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar...." (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 412).
Terhadap pesan Lukman al-Hakim yang keempat dan kelima kepada anaknya di atas, Ibnu Katsir memberikan keterangan, Wa'mur bi'l-ma'ruufi wanha 'ani'l-mungkar, perintahkanlah perkara yang baik dan cegahlah perkara yang munkar menurut batas kemampuan dan jerih payahmu. (Ibnu Katsir jilid III : 1990 : 430).
6. Nasihat Agar Bersabar Terhadap Musibah yang Menimpa
Pesan Lukman al-Hakim yang keenam adalah agar anaknya bersabar terhadap musibah yang menimpa. Firman Allah SWT, (QS.Luqman [31]: 17)
Artinya : "...dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 412).
Karena sesungguhnya untuk merealisasikan amar ma'ruf dan nahyi mungkar, pelakunya pasti akan mendapat gangguan dari orang lain. Oleh karena itulah, dalam pesan selanjutnya Lukman memerintahkan kepada anaknya untuk bersabar.
Firman Allah SWT, (QS.Luqman [31]: 17)
Artinya : "... Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 412).
Yakni bersikap sabar dalam memhhadapi gangguan manusia termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah SWT. (Ibnu Katsir jilid III : 1990 : 430).
Menurut pendapat lain, Lukman memerintahkan kepada anaknya bersabar dalam menghadapi berbagai macam kesulitan hidup di dunia, seperti berbagai macam penyakit dan sebagainya, dan tidak sampai ketidak sabarannya menghadapi hal tersebut akan menjerumuskannya ke dalam perbuatan durhaka terhadap Allah SWT. pendapat ini cukup baik karena pengertiannya bersifat menyeluruh. Demikianlah menurut al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya. Menurut makna lahiriahnya, hanya Allah yang lebih mengetahui, bahwa firman-Nya, (QS.Luqman [31]: 17)
Artinya : "... Sesungguhnya yang demikian itu...." (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 412).
Isyarat yang terkandung di dalamnya menuunjukan kepada sikap mengerjakan shalat, menunaikan amaar ma'ruf dan nahyi mungkar, serta bersabar menghadapi ganguan dan musibah, semuanya termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah SWT. (Jamaal 'Abdul Rahman : 2005 : 342-343).
7. Nasihat Agar Tidak Bersikap Sombong terhadap Orang Lain
Pesan Lukman al-Hakim yang ketujuh adalah agar anaknya jangan memalingkan muka dari manusia karena sombong, merasa diri paling tinggi derajatnya dari orang lain. Firman Allah SWT, (QS.Luqman [31]: 18)
Artinya : "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)...." (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 412).
Ash-Sha'r artinya berpaling. Makna asalnya adalah suatu penyakit yang menyerang tengkuk unta atau bagian kepalanya sehingga persendian lehernya terlepas dari kepalanya, kemudian diserupakanlah dengan seorang lelaki yang bersikap sombong. (Sayyid Qutb : 1992 : 2790).
Ibnu Abbas ra menafsirkan firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)...." yakni janganlah engkau bersikap sombong dengan meremehkan hamba-hamba Allah dan memalingkan mukamu dari mereka bila mereka berbicara denganmu. (Ath-Thabari jilid XXI : 1988 : 74).
Makna yang dimaksud ialah hadapkanlah wajahmu ke arah mereka dengan penampilan yang simpatik dan menawan. Apabila orang yang paling muda di antara mereka berbicara denganmu, dengarkanlah ucapannya sampai dia menghentikan penbicaraannya. Demikianlah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. (Jamaal 'Abdul Rahman : 2005 : 344).
8. Nasihat Agar Tidak Angkuh dalam Menjalani Hidup
Pesan Lukman al-Hakim yang kedelapan adalah agar anaknya tidak angkuh dalam menjalani hidup. Firman Allah SWT, (QS.Luqman [31]: 18)
Artinya : "...dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 412).
Berjalan di muka bumi dengan angkuh, ialah cara berjalan dengan langkah yang angkuh dan sombong dan enggan untuk bercampur gaul dengan orang lain (disebabkan kesombongannya itu). Cara berjalan yang maupun Khalik (Allah SWT) atapun makhluk (manusia) sama-sama tidak menyukainya. Cara berjalan yang sombong adalah indikasi akan lupa dirinya seorang hamba kepada Dzat Allah SWT (yang hanya Dia yang berhak untuk sombong). (Sayyid Qutb : 1992 : 2790).
Manusia menjalani hidup diantaranya dengan berjalan menelusuri relung-relung kehidupan setiap harinya. Lukman al-Hakim mengajarkan kepada anaknya untuk tetap tawadlu' (rendah hati) dan tidak takabbur (sombong) diantanya dengan menekankan agar dalam cara berjalan tidak berjalan dengan angkuh dan sombong.
9. Nasihat Agar Menyederhanakan Cara Berjalan
Pesan Lukman al-Hakim yang kesembilan adalah agar anaknya menyederhanakan cara berjalan. Nasihat kesembilan ini berserta nasihat ketujuh, kedelapan dan kesepuluh adalah sama-sama menekankan untuk tidak berlaku sombong dan menanamkan sifat tawadlu' kepada anak.
Setelah Lukman al-Hakim memperingatkan anaknya agar waspada terhadap akhlaq yang tercela dengan nasihat ketujuh dan kedelapannya, dia lalu menggambarkan kepadanya akhlaq mulia yang harus dikenakannya. Firman Allah SWT, (QS.Luqman [31]: 19)
Artinya : "Dan sederhanalah kamu dalam berjalan...." (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 412).
Waqsid fii masyika, Yakni berjalanlah dengan cara jalan yang pertengahan, tidak dengan langkah yang lambat dan tidak pula dengan langkah yang terlalu cepat, namun dengan langkah yang pertengahan antara lambat dan cepat. (Ibnu Katsir jilid III : 1990 : 430).
Nasihat Lukman al-Hakim yang kesembilan ini adalah sesuai dengan salah satu sifat 'Ibaadu'r-Rahmaan (hamba-hamba yang baik dari Tuhan yang Maha Penyayang). Firman Allah SWT, (QS.al-Furqan [25]: 63)
Artinya : "Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan." (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 365).
10. Nasihat Agar Melunakkan Suara
Nasihat Lukman yang terakhir kepada anaknya yang terdapat dalam Qur'an surat Luqman adalah agar anaknya melunakkan suara dalam berbicara dengan orang lain. Firman Allah SWT, (QS.Luqman [31]: 19)
Artinya : "...Dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Al-Qur'an dan Terjemah Depag RI : 2005 : 412).
Menurut Ibnu abbas ra, waghdud min shautik, yakni rendahkanlah suarmu dan janganlah bersuara dengan keras (tanpa alasan yang baik). (Al-Fairuzabadi : tt : 345).
Menurut al-Maraghi, waghdud min shautik, yakni kurangilah dari nada suara dan ringkaslah dalam berbicara, dan janganlah meninggikan suaramu ketika tidak ada keperluan apapun untuk meninggikannya, karena hal itu adalah tindakan yang dipaksakan oleh yang berbicara dan dapat mengganggu diri dan pemahaman orang lain. (Al-Maraghi : 1974 : 86).
3. Relevansi Sepuluh Nasihat Lukman Al-Hakim kepada Anaknya sebagai Dasar Pendidikan Islam
Sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya adalah relevan untuk menjadi dasar pendidikan Islam. Pernyataan tersebut didasarkan kepada relevansi sepuluh nasihat Lukman al-Hakim itu sendiri terhadap syarat sepuluh nasihat dapat dijadikan sebagai dasar pendidikan Islam.
Sebagaimana disinggung padabab sebelumnya tentang pengertian dasar pendidikan H.Mahmud dan Tedi Priatna menegaskan, dasar yang menjadi acuan pendidikan harus meupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan pada aktivitas yang dicita-citakan.
Nilai yang terkandung harus mencerminkan nilai yang universal, tentang keseluruhan aspek kehidupan manusia, serta merupakn standar nilai yang dapat mengevaluasi kegiatan pendidikan yang selama ini berjalan. (H. Mahmud dan Tedi Priatna : 2005 : 95).
Berdasarkan pengertian di atas maka penulis berkesimpulan bahwa sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya yang termaktub pada al-Qur'an surat Luqman ayat 13, 16, 17, 18, dan 19 dapat dijadikan sebagai bagian dari dasar pendidikan Islam.
Dengan memperhatikan bahwa sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya selaras dengan prinsip-prinsip yang ditekankan dalam ajaran Islam dan dengan termaktubnya sepuluh nasihat tersebut pada al-Qur'an sebagai kitab pedoman umat Islam maka sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepad anaknya semakin layak untuk dijadikan sebagai dasar pendidikan Islam.
Pembahasan urgensi sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya pada bahasan selanjutnya akan lebih mempertegas relevasi sepuluh nasiat Lukman al-Hakim kepada anaknya sebagai dasar pendidikan Islam.
4. Urgensi Sepuluh Nasihat Lukaman Al-Hakim kepada Anaknya sebagai Dasar Pendidikan Islam
Penulis memandang urgen pada sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya untuk dijadikan sebagai dasar pendidikan Islam dengan memperhatikan substansi dari nasihat-nasihat tersebut yang mencakup padanya empat kategori yang senantiasa menjadi perhatian dalam dakwah Islam, yaitu aqidah, ibadah, mu'amalah, dan akhlaq kepribadian.
Dalam hal aqidah, Lukman al-Hakim menekankan nasihat agar tidak musyrik kepada Allah SWT dan nasihat agar memegang teguh ketauhidan. Dalam hal ibadah, Lukman al-Hakim menekankan nasihat agar mendirikan shalat. Dalam hal mu'amalah, ia menekankan nasihat agar memmiliki keberanian memerintah kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, juga nasihat agar tidak bersikap sombong kepada orang lain. Dan dalam hal akhlaq kepribadian, Lukman al-Hakim menekankan nasihat agar bersabar terhadap musibah yang menimpa, tidak angkuh dalam menjalani hidup, menyederhanakan cara berjalan, dan nasihat agar melunakkan suara.
Selain urgensi sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya sebagai dasar pendidikan Islam adalah dengan memperhatikan bahwa sepuluh nasihat tersebut mengandung empat unsur penting dakwah Islam, juga hal-hal lain yang semakin memperkuat urgensi sepuluh nasihat Lukman al-Hakim tersebut. Berikut penulis paparkan beberapa diantaranya.
a) Urgensi Nasihat agar Tidak Musyrik Kepada Allah SWT sebagai Dasar Pendidikan Islam
Musyrik (menyekutukan) kepada Allah SWT merupakan dosa terbesar di dalam ajaran Islam yang hanya dapat dihapus dengan jalan bertaubat kepada-Nya. Firman Allah SWT, (QS.al-Nisa [4]: 48)
Artinya : "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 86).
b) Urgensi Nasihat agar Memegang Teguh Ketauhidan sebagai Dasar Pendidikan Islam
Sebagiamana nasihat agar tidak musyrik kepada Allah SWT sangatlah urgen untuk ditanamkan dalam pendidikan Islam, demikian pula dengan nasihat agar memegang teguh ketauhidan, karena larangan untuk berbuat syirik dan perintah untuk bertauhid adalah dua ketaatan yang mesti dilaksanakan secara bersamaan.
Firman Allah SWT, (QS.al-Ikhlas [112]: 1-4)
Artinya : "Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 604).
c) Urgensi Nasihat agar Mendirikan Shalat sebagai Dasar Pendidikan Islam
Dalam Islam, shalat mempunyai kedudukan yang tinggi dibandingkan dengan ibadah lainnya. Apabvila diamalkan berdasarkan ketentuannya, shalat merupakan ibadah yang berfungsi mencegah perbuatan keji dan mungkar. Firman Allah SWT,(QS.al-Ankabut [29]: 45)
Artinya : "Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 401).
d) Urgensi Nasihat agar Memiliki Keberanian Memerintah kepada Kebaikan dan mencegah dari kemungkaran sebagai dasar pendidikan Islam
Demi meraih keuntungan di dunia maupun di akhirat, umat Islam mesti menjadi umat dakwah yang siap menjalankan amar ma'ruf dan nahyi munkar. Friman Allah SWT,(QS.Ali Imran [3]: 104)
Artinya : "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 63).
e) Urgensi Nasihat agar Bersabar Terhadap Musibah yang Menimpa sebagai Dasar Pendidikan Islam
Demi menciptakan generasi yang dekat dengan Rabb-nya maka sifat sabar mesti ditanamkan dalam pendidikan Islam.
Firman Allah SWT, (QS.al-Baqarah [2]: 153)
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 23).
Jika generasi terbaik adalah generasi yang dekat dengan Rabb-nya maka generasi terburuk adalah generasi yang jauh dari Rabb-nya, yang Allah benci (tidak menyukai) kepada mereka.sikap sombong kepada orang lain apalagi sombong kepada Allah SWT dan sikap angkuh dalam menjalani hidup merupakan diantara dosa penyebab timbulnya kebencian Allah SWT. Firman Allah SWT, (QS.Luqman [31]: 18)
Artinya : "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 412).
f) Urgensi Nasihat agar Menyederhanakan Cara Berjalan dan Melunakkan Suara sebagai Dasar Pendidikan Islam
Sederhana dalam berjalan disertai kerendahan hati merupakan diantara sifat 'Ibaadu'r-Rahmaan (hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih). Firman Allah SWT, (QS.al-Furqan [25]: 63)
Artinya : "Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 365).
Adapun sikap melunakkan suara merupakan akhlaq terpuji yang akan semakin mengangkat derajat manusia di atas derajat makhluk lain seperti keledai yang memiliki suara seburuk-buruk suara. Firman Allah SWT, (QS.Luqman [31]: 18)
Artinya : "Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 412).
5. Fungsi Sepuluh Nasihat Lukman al-Hakim kepada Anaknya sebagai Dasar Pendidikan Islam di Tengah Pesatnya Pembangunan
Pembangunan yang kian pesat dan teknologi yang kian maju berdampak pula kepada dekadensi moral di kalangan generasi muda Islam khususnya dan umat Islam pada umumnya.
Sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya perlu difungsikan dalam pendidikan Islam sebagai upaya penguatan aqidah, pembenahan ibadah, pembinaan mu'amalah, serta pembentukan kepribadian terpuji generasi-generasi muda Islam.
Apabila sepuluh nasihat Lukman al-Hakim difungsikan dengan baik maka akan tercipta generasi rabbani (condong kepada Rabb-nya), yang mampu menyikapi dunia sebagai sarana bukan sebagai tujuan sehingga dalam melakukan setiap pekerjaan akan bermuara kepada harapan kepada ridlo Allah semata. Keikhlasan itulah yang akan mampu menjadi pendorong kemajuan Islam pada masa sekarang ataupun di masa depan nanti.
Setelah sepuluh nasihat Lukman al-Hakim diterapkan pada pribadi-pribadi muslim, maka akan tercipta insan-insan taqwa yang dengan ketaqwaannya itu akan mampu mendatangkan berbagai pertolongan Allah SWT. Tentunya, umat Islam sangat mengharap pertolongan Allah SWT hadir dalam setiap aktivitas kehidupan, maka taqwa menjadi kunci utama untuk membuka pertolongan-Nya itu.
Friman Allah SWT,(QS.al-Qasas [28]: 2-3)
Artinya : "… Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 558).
6. Krisis Penerapan Sepuluh Nasihat Lukamn al-Hakim kepada Anaknya sebagai Dasar Pendidikan Islam serta Dampak yang Ditimbulkan
Orang tua sebagai pemeran utama pendidikan anak serta guru sebagai pendidik pengganti orang tua di luar lingkungan keluarga kiranya mesti mengevaluasi penerapan pendidikan Islam dewasa ini. Sepanjang penelitian penulis tentang penerapan sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya berada pada keadaan yang teramat krisis. Hal ini tergambar diantaranya dengan maraknya pemberitaan baik di media elektronik ataupun media cetak tentang perilaku-perilaku menyimpang di kalangan remaja Islam khususnya dan umat Islam pada umumnya
Dampak yang ditimbulkan dari krisis penerapan nasihat agar tidak musyrik kepada Allah SWT dan nasihat agar memegang teguh ketauhidan akan melahirkan pribadi-pribadi muslim yang aqidahnya rusak. Ketika aqidah telah rusak maka keinginan untuk membela Agama Tauhid (Islam) akan hilang, bahkan yang muncul adalah generasi perusak agama.
Hanya generasi yang memegang teguh ketauhidan yang akan siap memperjuangkan agama, sebagaimana Hawariyyun (para sahabat setia) Nabi Isa as dengan persaksian ke-muslim-annya menyatakan kesiapan diri menjadi pembela Nabi Isa as dalam memperjuangkan Agama Allah SWT. Firman Allah SWT, (QS.Ali Imran [3]: 52)
Artinya : "Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 56).
Dari krisis penerapan nasihat agar mendirikan shalat maka akan lahir generasi pemuja hawa nafsu hingga akhirnya mereka akan tersesat, jauh dari petunjuk Allah SWT. Firman Allah SWT, (QS.Maryam [19]: 59)
Artinya : "Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan," (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 309).
Krisis penerapan nasihat agar memiliki keberanian memerintah kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran akan membentuk pribadi-pribadi mudahanah (acuh tak acuh) terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Sikap acuh tak acuh, tidak mau memrintah kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran adalah sikap yang menjadi diantara penyebab datangnya laknat Allah SWT sebagaimana Bani Israil telah Allah laknat melalui lisan (ucapan) Nabi Dawud as dan Nabi Isa as disebabkan perilakunya seperti itu.
Firman Allah SWT,(QS.al-Maidah [5]: 78-79)
Artinya : "Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 121).
Dari krisis penerapan nasihat agar bersabar terhadap musibah yang menimpa akan berdampak semakin maraknya pasien Rumah Sakit Jiwa akibat ketidak mampuhan menyikapi permasalahan yang terjadi. Selain itu, ketika musibah tidak ditindak lanjuti dengan sikap sabar maka yang muncul adalah generasi-generasi mudah berputus asa bahkan mudah melakukan tindakan bunuh diri.
Dari krisis penerapan nasihat agar tidak bersikap sombong kepada orang lain dan tidak angkuh dalam menjalani hidup akan melahirkan generasi yang sewenang-wenang, tidak berperasaan, kurang peka terhadap kesusahan yang diderita oleh orang lain.
Dalam kepemimpinan misalnya, sikap sombong dan angkuh selalu berujung kepada kehancuran akan bangsa yang sombong dan angkuh itu, hal itu pula yang menjadi diantara penyebab hancurnya Bani Israil.
Firman Allah SWT, (QS.al-Isra [17]: 4-5)
Artinya : "Dan Telah kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: 'Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi Ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar'. Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, kami datangkan kepadamu hamba-hamba kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan Itulah ketetapan yang pasti terlaksana." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 282).
Krisis penerapan nasihat agar menyederhanakan cara berjalan dan nasihat agar melunakkan suara akan melahirkan generasi yang jauh dari kerendahan hati.. cara berjalan yang sombong dan mengeluarkan suara keras dengan tanpa tujuan yang jelas mengindikasikan adanya sifat sombong pada hati seseorang. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sikap sombong dan angkuh selalu berujung kepada kehancuran.
C. Relevansi Pendidikan Islam dalam Membentuk Manusia Beradab
1. Manusia dan Kebutuhannya akan Pendidikan
a. Manusia sebagai Makhluk yang Paling Sempurna
Adam merupakan manusia pertama yang diciptakan oleh Allah. Kemudian Allah menciptakan Hawa untuk menemani Adam. Pertama kali Allah menciptakan Adam tanah lumpur yang hitam, kemudian Allah menciptakan manusia yang tak terhitung jumlahnya melalui pencampuran Adam dan Hawa.
Manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk yang sangat berbeda dari makhluk lainnya. Manusia (memilih) bentuk yang paling bagus dan indah, manusia dilengkapi dengan kelengkapan panca indra, serta diberi hati, akal dan syahwat, yang semuanya itu dikendalikan oleh Allah.
Dari semua alat-alat yang diciptakan Allah tersebut mempunyai fungsi masing-masing :
- Panca indra sangat berfungsi bagi manusia dalam merekam dan mengarungi kehidupan ini, membantu proses memahami, menela'ah dan menafakuri semua yang telah diciptakan Allah SWT.
- Hati pada manusia berupa segempal daging yang berwarna merah kehitam-hitaman, dan berfungsi sebagai alat sentral dari semua organ badan manusia berbuat baik dan buruk berdasarkan hati, dengan demikian terciptanya prilaku manusia tergantung dari keadaan hatinya, sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits riwayat Nu'man ibnu Basyir yang berbunyi :
Artinya : Hadits diterima dari Nu'man ibn Basyir ra, ia berkata : "Rasulullah SAW telah bersabda : '… ingat sesungguhnya di dalam jasad ada segempal daging, apabila segempal daging itu baik, maka akan baik pula semua jasadnya. Dan apabila segempal daging itu rusak, maka akan rusak pula semua jasadnya, ingat dia itu adalah hati.'" (Muttafaq 'alaih).
- Akal merupakan suatu alat yang diciptakan Allah SWT untuk manusia yang berfungsi memberikan pengaruh kepada manusia untuk berbuat hal-hal yang positif dan bermanfaat.
- Syahwat merupakan suatu alat yang diciptakan Allah untuk manusia yang berfungsi memberikan pengaruh kepada manusia untuk melakukan hal-hal yang negative dan merugikan.
Agar terdapat perpaduan dan saling menunjang antara akal dan syahwat, maka sangat diperlukan pendidikan. Karena pendidikan adalah suatu alat atau sarana untuk membimbing syahwat agar terkendali, maka syahwat harus selalu terpimpin oleh akal.
Karena pada hakikatnya pendidikan memberi pengaruh kepada hal-hal yang positif, maka dengan pendidikan yang diberikan kepada manusia Insya Allah akan mampu mengendalikan syahwat dan selalu memimpin syahwatnya.
b. Fitrah dan Kemampuan yang Dimiliki Manusia
Setiap individu manusia yang lahir ke dunia ini pada dasarnya ada dalam ke-fitrah-an (kesucian). Yang dimaksud dengan fitrah di sini adalah kemampuan-kemampuan dasar dan kecenderungan-kecenderungan yang murni dan suci yang dimiliki oleh setiap individu manusia sejak lahir. Kemampuan-kemampuan dan kecenderunmgan-kecendeungan tersebut lahir dalam bentuk sederhana, kemudian saling mempengaruhi, tumbuh berkembang dan menjadi lebih baik atau sebaliknya.
Anak yang dilahirkan ke dunia ini mempunyai kemungkinan-kemungkinan dan kemampuan-kemampuan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan pengaruh lingkungan. Dalam menghadapi pengaruh lingkungan inilah memerlukan pendidikan, sebagaimana yang ditekankan betapa pentingnya pendidikan menurut al-Qur'an.
Al-Qur'an juga telah menjelaskan bahwa Allah memberikan kepada manusia akal untuk dapat membedakan (memilih) hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk. Pendidikan berperan mengarahkan akal manusia untuk dapat berbuat hal yang baik, benar dan bermanfaat
.
Berikut beberapa ayat yang menjelaskan dan menguatkan apa telah kami uraikan di atas :
a) Tabi"At asli (QS.ar-Rum [30]: 30)
Artinya : "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 407).
b) Usaha pendidikan (QS.an-Nahl [16]: 78)
Artinya : "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 275).
c) Kemampuan memilih (QS.al-Balad [90]: 8-10 dan QS.al-Insan [76]: 3)
Artinya : "Bukankah kami Telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua jalan, yang dimaksud dengan dua jalan ialah jalan kebajikan dan jalan kejahatan." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 594).
Artinya : "Sesungguhnya kami Telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 594).
c. Segi-Segi Kelemahan Manusia
Allah menciptakan manusia dengan diberi berbagai macam bakat dan kemampuan, akal dan segala kesempurnaannya, namun manusia segi-segi kelemahan yang mesti dikendalikan dan dibimbing oleh pendidikan. Tanpa pendidikan manusia akan terjerumus mengikuti kehendak hawa nafsu.
Allah melalui al-Qur'an telah menjelaskan dan memberi cara yang paling baik untuk menutupi kelemahan-kelemahan manusia, serta memberi kebebasan kepada setiap individu manusia untuk memilih jalan dan memperbaiki serta menjaga diri dari hal-hal yang buruk, apabila hal buruk itu dilakukan, maka akan mengalami kehancuran di dunia dan akhirat.
Kami akan mencoba menguraikan pernyataan di atas dengan beberapa ayat al-Qur'an :
a) Nafsu jahat (QS.Yusuf [12]: 53)
Artinya : "Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 242).
b) Bisikan hati (QS.Qaf [50]: 16 dan QS.al-Nas [114]: 1-6)
Artinya : "Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 519).
Artinya : "Katakanlah: 'Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia. Dari (golongan) jin dan manusia.'" (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 604).
c) Permusuhan syetan (QS.al-Isra [17]: 53)
Artinya : "Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 287).
2. Relevansi Pendidikan Islam dalam Membentuk Manusia Beradab
Islam merupakan agama yang sesuai dengan fitrah manusia, artinya manusia yang condong mencari tuhan yang mesti ia sembah terjawab dengan datangnya agama Islam.
Firman Allah SWT, (QS.al-Rum [30]: 30)
Artinya : "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI : 2005 : 407).
Maka untuk membentuk manusia beradab, hanya pendidikan Islam yang akan mampu melaksanakannya dengan arti yang sesungguhnya. Pernyataan ini didasarkan pada ayat di atas yang mana dapat diambil salah satu pemahaman bahwa hanya Islam atau pendidikan Islam yang sesuai dengan fitrah manusia yang mana hal ini menjadi modal pokok bagi pendidikan Islam untuk membentuk manusia beradab. Sistem pendidikan lain ataupun agama lain tidak memiliki jaminan kuat bahwa sistem pendidikan yang mereka gunakan sesuai dengan fitrah manusia. Lain halnya dengan pendidikan Islam yang mendapatkan jaminan langsung dari Rabb-nya, Allah SWT.
3. Urgensi Pendidikan Islam dalam Membentuk Manusia Beradab
Dalam membentuk manusia beradab, adalah mutlak yang mesti digunakan hanyalah sistem pendidikan Islam. Alasannya karena Islam mendidik seluruh potensi yang mesti diperhatikan dalam pendidikan.
Nasruddin Syarif menegaskan bahwa pendidikan yang dimaksud oleh Islam bukanlah pendidikan yang menceraiberaikan potensi otak (kognitif), sikap (afektif), ataupun mental (psikomotorik), melainkan menyatukan kesemuanya. Sehingga sangat tidak sesuai dengan Islam jika pendidikan hanya diarahkan agar anak didik cerdas, sementara dalam sikap dan mental sangat menyimpang. Demikian juga, yang hanya mengajarkan bagaimana bersikap baik tapi hampa dengan kecerdasan. Atau yang unggul dalam seni, mempunyai daya empati yang tinggi, tapi ia tidak cerdas dan tidak beretika. Dan yang lebih terarah dari itu semua, pendidikan Islam ditujukan agar manusia semakin mneghamba kepada Rabb-nya.itulah mengapa dalam wahyu pertama, ketika Allah menyuruh manusia mencari ilmu dan melakukan aktivitas pendidikan, dicamkan bismi rabbika'l-ladzi khalaqa; dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan. Artinya, semua potensi dalam pendidikan, pengajaran, dan pencarian ilmu haruslah dilandasi dengan nilai-nilai ketuhanan. (Majalah Risalah No.3 TH.47 : Juni 2009 : 14).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan dan uraian di atas maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
Islam merupakan agama yang mendidik manusia agar hidup sesuai dengan fitrah yang telah ditentukan-Nya. Dalam mendidik manusia, Allah SWT telah mengutus para Nabi dan Rasul untuk mengajak manusia hidup sesuai fitrahnya yaitu beribadah kepada Allah dan menjauhi thagut. Kemudian Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir dalam mendidik umat manusia telah Allah bekali dengan al-Qur'an sebagai pedoman.
Dalam al-Qur'an yang memiliki unsur hukum (perintah dan larangan), ancaman dan kabar gembira, juga terdapat padanya kisah-kisah umat dan orang terdahulu yang dapat dijadikan pelajaran bagi umat Islam. Salah satu dari kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur'an adalah kisah Lukman al-Hakim ketika memberi nasihat kepada anaknya.
Penulis memandang kisah Lukman al-Hakim menasihati anaknya yang mana nasihatnya itu berjumlah sepuluh nasihat adalah relevan serta urgen untuk menjadi dasar pendidikan Islam dalam upaya membentuk manusia beradab.
Pernyataan di atas didasarkan kepada relevansi sepuluh nasihat Lukman al-Hakim itu sendiri dengan prinsip-prinsip yang di ajarkan agama Islam serta dengan termaktubnya sepuluh nasihat Lukman al-Hakim tersebut pada al-Qur'an surat Luuqman ayat 13, 16, 17, 18, dan 19. Adapun sepuluh nasihat tersebut adalah sebagai berikut,
1. Nasihat agar tidak musyrik kepada Allah SWT
2. Nasihat agar memegang teguh ketauhidan
3. Nasihat agar mendirikan shalat
4. Nasihat agar memiliki keberanian memerintah kepada kebaikan
5. Nasihat agar memiliki keberanian mencegar dari kemungkaran
6. Nasihat agar bersabar terhadap musibah yang menimpa
7. Nasihat agar tidak bersikap sombong terhadap orang lain
8. Nasihat agar tidak angkuh dalam menjalani hidup
9. Nasihat agar menyederhanakan cara berjalan
10. Nasihat agar melunakkan suara.
Sepuluh nasihat Lukman al-Hakim di atas adalah sesuai dengan pengertian, pemikiran, tujuan, serta akar-akar pendidikan Islam dalam al-Qur'an dan al-Hadits.
Sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya mesti difungsikan sebagai dasar pendidikan Islam di tengah pesatnya pembangunan sebagai upaya terbentuknya generasi yang kuat aqidahnya, benar ibadahnya, ihsan (baik) mu'amalahnya, serta baik akhlaq kepribadiannya. Sehingga pada zaman yang kian modern ini diharapkan para generasi Islam dapat menyikapi dunia sebagai sarana bukan sebagai tujuan yang tentunya akan berpola hidup hanya mengharap keridloan-Nya semata.
Kian maraknya kenakalan-kenakalan yang diperbuat para generasi muda Islam menjadi indikasi kurangnya penerapan sepuluh nasihat Lukman al-Hakim menjadi dasar pendidikan Islam. Hal ini mesti segera diantisipasi sebelum rusaknya aqidah, ibadah, mu'amalah, dan akhlaq kepribadian umat Islam umumnya dan generasi muda Islam pada khususnya.
Secara umum, pendidikan Islam merupakan satu-satunya sistem pendidikan yang mampu mendidik manusia menjadi makhluk yang beradab, makhluk yang hidup sesuai dengan fitrah yang ditentukan Rabb-nya. Manusia sebagai makhluk yang membutuhkan pendidikan akan sangat bersesuaian jika yang dijadikan pola pendidikan adalah agama Islam.
B. Saran-saran
Memperhatikan pendidikan Islam dewasa ini yang kebanyakan orang tua muslim dalam mendidik putra-putrinya serta lembaga pendidikan Islam dalam mendidik anak didiknya cenderung kian jauh dari pola yang diisyaratkan oleh al-Qur'an dan al-Hadits. Pernyataan ini bukan tanpa alasan tetapi berdasarkan bukti di lapangan dengan kian maraknya pelanggaran-pelanggaran agama yang dilakukan umat Islam seolah sudah tidak lagi dipandang sebuah dosa. Maka penulis pada masalah ini mengajukan beberapa saran diantaranya :
Pertama, diharapkan para orang tua muslim dapat menerapkan pola pendidikan anak yang diajarkan Lukman al-Hakim ketika ia menasihati anaknya. Hal ini teramat penting mengingat unsur yang terdapat pada nasihat tersebut meliputi pembinaan aqidah, ibadah, mu'amalah, dan akhlaq kepribadian.
Kedua, diharapkan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang menjadikan al-Qur'an dan al-Hadits sebagai dasar pendidikan agar dapat tetap berpegang teguh (istiqamah) dalam memperjuangkan pendidikan Islam. Hanya pendidikan dengan landasan al-Qur'an dan al-Hadits yang mampu membentuk manusia beradab dengan arti yang sesungguhnya.
Ketiga, disarankan kepada lembaga-lembaga pendidikan yang notabene Islam agar segera mengkaji ulang dasar pendidikan yang digunakan jika kemudian ditemukan kenyataan banyaknya pelanggaran-pelanggaran agama yang dilakukan anak didiknya.
Keempat, diharapkan para generasi muda Islam untuk dapat bersedia menyelaraskan diri dengan apa yang terdapat pada sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya agar terbentuk pribadi yang siap memperjuangkan syari’at Islam. Perlu disadari bahwa ketika orang tua mencoba untuk menerapkan sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya tersebut, itu merupakan wujud kasih sayang mereka, hal ini tergambar dengan memperhatikan ungkapan sepuluh nasihat Lukman al-Hakim tersebut diantaranya diawali dengan kata “Yaa bunayya”, “Wahai anakku!”. Panggilan demikian muncul dari dorongan kasih sayang yang begitu besar dari seorang bapek kepada anaknya. Dan artinya, ketika orang tua tidak memperhatikan kesepuluh nasihat Lukman al-Hakim tersebut, maka para anak dari orang tua muslim mesti bersedih dan segera mengingatkan orang tuanya akan pentingnya penerapan sepuluh nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya tersebut.
Kelima, disarankan agar pemerintah memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi pendidikan Islam untuk membuktikan kerelevanan serta keurgenan pendidikan Islam dalam membentuk manusia beradab. Kalaupun pemerintah merasa keberatan untuk melakukan hal tersebut, paling tidak pemerintah dimohon untuk tidak melakukan interfensi-interfensi yang dapat merusak system pendidikan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar